KHILAFAH TIDAK HANYA KONSTRUKSI HISTORIS KHILAFAH UTSMANI

Baca lebih lanjut

CARBON TRADING, SOLUSI GLOBALL WARMING?

CARBON TRADING, SOLUSI GLOBALL WARMING?
Oleh: Sukamto *)
Tanggal 03–14 Desember 2007 menjadi momentum historis bagi Indonesia, khususnya Bali, provinsi Pulau Dewata, sekaligus “Pulau Maksiat”. Sekitar 9.000 orang dari 186 negara tumpah-ruah di Bali Internasional Convention Center (BICC), Hotel the Westina Resort, Nusa Dua, Bali, untuk menghadiri sebuah perhelatan akbar yang diselenggarakan oleh Badan PBB bernama Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Pertemuan yang dihadiri oleh sedikitnya 300 LSM dan lebih dari 1.000 wartawan dari berbagai media massa baik cetak maupun elektronik internasional ini, mendiskusikan tentang persiapan negara–negara di dunia untuk mengurangi efek gas rumah kaca, setelah Protokol Kyoto kadaluarsa pada tahun 2012. Protokol dengan nama resmi Protokol Kyoto mengenai Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau Kyoto Protokol to the United Nations Framework Convention on Climate Change ini merupakan sebuah persetujuan internasional di mana negara–negara industri maju akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 % (www.wikipedia.org). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca (karbohidrat, metana, nitrous oxide, sulfur heksafourida, HFC dan PFC) yang dihitung sebagai rata-rata selama 5 tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8 % untuk Uni Eropa, 7 % untuk AS, 6 % untuk Jepang, 0 % untuk Rusia, dan penambahan yang diijinkan sebesar 8 % untuk Australia dan 10 % untuk Islandia.
Konferensi ini digelar sebagai upaya untuk menemukan solusi pengurangan efek rumah kaca yang menyebabkan Pemanasan Global (Globall Warming). Memang, Pemanasan Global menjadi momok yang sangat menakutkan bagi 6,5 Milliar umat manusia yang menghuni planet bumi saat ini. Para ilmuwan telah mempredikisai dampak pemanasan global akan berakibat pada peningkatan suhu bumi, perubahan pola iklim, kenaikan permukaan air laut dan pantai, dampak terhadap bidang pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Dalam kaitannya dengan Pemanasan Global, isu santer yang diangkat pada konferensi ini yaitu Emisi Karbon. Selama ini, Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara lebih murah bila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal, karena karbon yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara tidak dihitung sebagai biaya yang harus ditanggung. Sementara, untuk para pemilik lahan (hutan) yang menjadi penyerap karbon harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan lahan mereka. Maka, diperlukan pendapatan bagi para pemilik lahan untuk memelihara lahannya. Pemilik lahan biasanya negara-negara berkembang, sedangkan penghasil karbon adalah negara-negara industri maju. Jadi, negara-negara berkembang bisa memelihara hutan dengan kompensasi dari negara-negara industri maju, sehingga “semua” pihak bertanggung jawab terhadap pengelolaan karbon di bumi. Inilah logika berpikir yang melatarbelakangi isu Reduced Emissions from Deforestration and Degradation (REDD), reforestation, Clean Development Mechanisme (CDM) dan termasuk juga Perdagangan Karbon (Carbon Trading). Dengan bahasa sederhana, dengan adanya Carbon Trading (C-Trading), negara yang banyak pabriknya menyumbang emisi CO2, maka mereka harus membeli karbon. Caranya dengan menjaga hutan di suatu daerah agar hutan tetap lestari untuk menekan dampak Pemanasan Global. Sebagai kompensasinya mereka akan memberi sejumlah uang kepada negara lain yang hutan atau karbonnya telah mereka beli.
Pemerintah Pusat sendiri telah berencana “menjual” hutan Kal-Teng dan hutan di beberapa provinsi lain, yaitu Riau, Jambi, Kal-Tim, Kal-Bar, Sum-Sel, Papua, dan Papua Barat ke publik internasional (Bpost, 14/11). Kalau demikian faktanya, sekarang pertanyaannya, apakah dengan cara ini lantas dapat dikatakan “semua” pihak ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan karbon di bumi sebagaimana logika berpikir di atas? Tentu saja tidak! Cara ini sama halnya dengan perumpamaan “orang lain dengan seenaknya membuang tinja, sementara kita yang diminta membersihkannya”. Walhasil, merupakan suatu tindakan bodoh apabila pemimpin kita menyetujui MoU C-Trading ini. Kemudian, mengapa hanya negara-negar berkembang yang memiliki hutan saja yang dikambinghitamkan untuk melestarikan hutan? Sedangkan, negara-negara industri maju dibebaskan dari tanggung jawab ini. Padahal, merekalah musuh lingkungan yang telah jelas-jelas merusak bumi ini. Lalu, apakah dengan C-Trading ini memang benar-benar akan mengurangi Pemanasan Global atau bahkan sebaliknya? Logikanya, dengan adanya C-Trading ini, negara-negara industri maju ini akan lebih rakus lagi melakukan eksploitasi produksi. Pasalnya, mereka akan beranggapan “toh” sudah ada negara-negara yang memiliki hutan yang siap menyerap emisi karbon industri mereka.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting yang mesti kita cermati dan waspadai adalah adanya konspirasi politis-ideologis negara Kapitalis di balik MoU C-Tarding. Perdagangan karbon seperti ini pada akhirnya nanti akan menjadi bumerang bagi negara kita. Pasalnya, mungkin saja negara-negara industri maju meminta imbalan atas hutan yang turut mereka biayai. Dengan menerima uang kompensasi ini, Indonesia dipastikan hanya akan menjadi forrest scurity saja, bukan lagi sebagai pemilik hutan, sebab seluruh dunia akan merasa memiliki hutan Indonesia. Begitu juga dengan kemungkinan bila suatu saat negara-negara kapitalis ini berbuat sesuatu yang merugikan negara kita, Pemerintah tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kal-Teng sendiri sebagaimana kita ketahui dari 10 juta hektare kawasan hutan dan 3 juta hektare kawasan gambut memiliki sekitar 6,3 juta Giga ton deposit karbon (Bpost, 14/11). Kemudian, potensi lain berupa bahan galian seperti emas primer (28.620 ton), emas alluvial (10.947 ton), besi (1.452.640 ton), kaolin (38.584.000 ton), dan kristal kuarsa (18.755.640 ton), semuanya terancam lepas dari kepemilikan rakyat Indonesia bila terjadi taken kontrak oleh Pemerintah. Hal lain yang mungkin akan terjadi bila MoU ini ditaken oleh Presiden, otomatis hutan Kal-Teng tidak boleh diotak-atik lagi. Karena mau tidak mau hutan harus dijaga, masyarakat tidak bisa lagi berladang dengan cara membuka hutan, juga tidak akan bisa lagi memanfaatkan hasil hutan seperti menyadap karet dan rotan yang sudah menjadi kultur masyarakat Kal-Teng secara turun-temurun. Ini tentu saja akan berimbas pada akumulasi kerawanan sosial di tengah-tengah masyarakat. Walhasil, dengan menyetujui MoU C-Trading-menerima uang kompensasi tersebut, sama halnya pemerintah telah menjual hutan Indonesia kepada negara-negara Kapitalis dan memang akan memperpuruk kondisi rakyat ini.
Tindakan bijak yang seharusnya ditempuh adalah Indonesia memelihara sendiri hutan Indonesia, sementara negara-negara industri maju menanam sendiri hutan di negara mereka, bukan malah sebaliknya menyuruh negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga kelestariannya. Menurut M. Ridwan, peserta konferensi delegasi dari Indonesia, mengatakan bahwa Pemerintah hanya mengejar targen uang kompensasi sebesar 37,5 Trilliun dari negara-negara industri maju untuk biaya perawatan hutan di Indonesia. Dia juga mencurigai, apabila Pemerintah jadi menerima uang kompensasi ini, maka uang tersebut akan digunakan untuk menyambut suksesi presiden tahun 2009 (www.wikipedia.org). Ingat, no free lunch bagi negara-negara kapitalis.
Dengan melihat sangat pelik dan kompleksnya problematika bangsa ini, penulis ingin sedikit menguraikan apa akar masalah dan bagaimana mencari solusi penyelesaian atas semua problematika ini secara integral dan komperhensif?
Pemanasan global bukan hanya tragedi alam yang terjadi karena meningkatnya suhu bumi akibat dari meningkatnya kadar CO di atmosfer, akan tetapi Pemanasan Global lebih terkait dengan sistem sosial yang sedang berkembang saat ini. Sistem Ekonomi Kapitalisme yang merupakan sistem sosial yang diterapkan hampir di seluruh permukaan bumi saat ini diduga kuat menjadi biang dari munculnya pemanasan global.
Kondisi kekacauan lingkungan yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara historis dan filosofis sesungguhnya berakar pada Ideologi Kapitalisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya (antroposentrisme). Lingkungan dipandang sebagai suatu objek yang dapat dieksploitasi secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Descrates “kita semua adalah tuan-tuan dan pemilik alam semesta”.
Ideologi Kapitalisme yang Materialis membuat gaya hidup seseorang menjadi rakus-serakah dan tak pernah merasa cukup. Akibatnya, banyak energi yang harus dihabiskan untuk memenuhi ‘hasrat binatang’ dari manusia-manusia yang menganut paham sesat ini sehingga semakin banyak pula CO2 yang akan dibuang. Ini dikarenakan indikator untuk menentukan tingkat kebahagian seseorang ada pada seberapa besar materi yang dia kuasai, hasilkan dan nikmati. Semakin banyak seseorang menguasai materi-materi atau kekayaan yang ada di dunia ini maka semakin bahagialah dia.
Krisis lingkungan hidup terus berlangsung dari hari ke hari seiring dengan nafsu eksploitatif umat manusia baik di Barat maupun di Timur dengan integritas Kapitalisme Global. Pertumbuhan penduduk yang cepat (population explotion) di dunia tidak hanya berakibat pada persoalan demografis semata, tepai juga akan berakibat pada eksploitatif akseleratif terhadap alam akibat kebutuhan manusia yang terus-menerus membengkak dan kompleks. Niscaya akan terjadi pergesaran perilaku dan mental dari etis-estetis mejadi watak teknokratis-pragmatis-oppurtunis. Ini akan mejadi semakin cepat ketika Ideologi Kapitalisme menjadi jalan hidup manusia. Sehingga, masalah ekologi ini pada dasarnya merupakan akumulasi dari persoalan kemanusiaan lainnya.
Persoalan ekologi tidak dapat dipisahkan dari kontradiksi Kapitalisme yang mengeksploitasi alam dan manusia hanya untuk mencari keuntungan. Kapitalisme global (neo-liberalism) harus memastikan terjadinya ekspansi ke wilayah global dengan mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) sebagai bahan baku, di samping juga membutuhkan tenaga kerja murah sekaligus sebagai pasar atas produk-produk mereka. Kapitalisme memberikan penekanan pada bidang produksi dari eksploitasi alam yang berlebihan untuk mendapatkan keuntungan. Ekonomi Kapitalis yang menggunaknan prinsip “dengan menggunakan modal yang sekecil-kecilnya untuk memeperoleh keuntungann yang sebesar-besarnya”, mendorong eksploitasi terhadap alam dan manusia dengan menghilangkan dimensi kebersamaan dan keberlanjutan, karena hanya mengkondisikan manusia hanya untuk memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan dan menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan alam semaksimal mungkin.
Akhirnya, harga manusia pun menjadi murah sebatas nilai uang yang menuruti logika pasar, krisis kemausiaan akan berbanding lurus dengan krisis lingkungan. Manusia akan semakin sulit memperoleh akses SDA, udara yang sehat, dan manusia yang tidak memiliki SDA akan memakai dirinya sebagai alat produksi, untuk diperjualbelikan, untuk sekedar mempertahankan hidup atau mencari kepuasan lainnya.
Berbeda dengan Kapitalisme, Islam mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebahagiaan, bahagia menurut seorang Muslim adalah suatu keadaan di mana aktivitas (amal) yang dikerjakannya mendapat ridha Allah Swt. Dengan pemahaman seperti ini, seorang Muslim dituntut untuk selalu mengaitkan setiap perbuatannya dengan keridhoan Allah Swt, sedangkan untuk mencapai keridhoan itu paling tidak seorang Muslim harus memenuhi dua kriteria dalam melakukan suatu amal, yaitu ikhlas dan benar (sesuai syariat). Jika salah satu dari dua kriteria tersebut tidak terpenuhi maka jangan berharap perbuatan kita akan mendapatkan ridha dari Allah Swt.
Di sinilah kita menyadari perlunya konsep yang jelas dalam hidup ini, sehingga dengan konsep itu kita akan mampu melakukan kebijakan-kebijakan agar masalah ini bisa teratasi. Kita diperintahkan oleh Sang Pencipta untuk menjaga bumi ini. Saat ini, konsep yang sedang berjalan adalah konsep di mana ekonomi mengalahkan lingkungan, merupakan konsep yang tidak benar. Konsep ini bersumber dari kapitalisme, sehingga jelas konsep ini adalah konsep yang keliru. Perlu kita bangun persamaan persepsi, saat ini akar masalah dari akumulasi segala masalah yang ada adalah masalah sistemik, yaitu Sistem Ekonomi Kapitalisme. Suatu contoh mudahnya adalah problem urbanisasi yang sebenarnya disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan di negeri ini, sehingga orang desa yang mau sukses harus pindah dulu ke sentra-sentra industri di kota-kota besar. Berbeda dengan Islam yang mengharuskan distribusi kekayaan secara merata ke seluruh rakyatnya. Alam ini diciptakan oleh Allah, maka manusia harus menyesuaikan pengaturan alam ini dengan aturan yang dibuat oleh Allah untuk mengatur alam ini. Aturan itu antara lain adalah bahwa SDA yang dibutuhkan oleh semua orang tidak boleh dimiliki oleh individu, misalnya barang tambang (api), air dan hutan (padang rumput). Hal ini seuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Manusia berserikat dalam 3 hal, yaitu air, padang gembala dan api, harga ketiganya adalah haram”.
Permasalahan ini adalah permasalahan sistem, maka solusinya pun harus sistemik pula. Satu-satunya sistem yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai Sang Pencipta alam semesta ini hanyalah Islam. Maka, solusi yang tepat dan benar adalah dengan mengganti sistem kehidupan yang diatur oleh Kapitalisme-Sekuler dengan sistem kehidupan yang diatur dengan Islam, sistem ini tidak bisa diterapkan kecuali dalam naungan Khilafah yang akan menerapkan seluruh syari’at Islam secara integral dan komperhensif. Khilafahlah yang nantinya akan mengambil alih aset-aset publik SDA yang dimiliki oleh individu sehingga nantinya dikelola oleh negara. Khilafahlah yang nantinya akan mengembangkan teknologi untuk menghasilkan energi yang terbarukan dalam berbagai bentuk yang dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional sehingga diharapkan dapat mengurangi efek pemanasan global. Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman hutan harus terus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Di level bawah, kita perlu mengingatkan umat pada hadits Nabi Saw yang berbunyi, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”.
Walhasil, tanpa perubahan sistem secara mendasar maka upaya-upaya untuk mengatasi Pemanasan Global akan sia-sia belaka. Apalagi hanya dengan cara C-Trading yang tidak lain adalah permainan negara-negara industri maju yang berusaha mensubordinatkan negara-negara berkembang sebagai objek eksploitasi mereka. Alih-alih itu semua akan mengatasi Pemanasan Global, malah meningkatkannya yang mungkin saja terjadi. Mari kita renungkan bersama firman Allah Swt berikut: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. ar-Ruum [30]:41)
Fakta telah terlihat dengan jelas dengan gagalnya ‘Konferensi Bali’, konferensi yang diselenggarakan oleh UNFCCC ini akhirnya tidak melahirkan keputusan yang pasti dan mengikat untuk mengurangi emisi industri antara 25-40% hingga tahun 2020. ‘Biang kerok’nya tentu saja AS sebagai lokomotif Kapitalisme dunia. Jika AS sepakat mengurangi emisi karbon, berarti mereka setuju menngurangi jumlah industri mereka atau mengurangi jumlah produksi industri mereka. Mereka tentu tidak mau, karena penopang utama perekonomian mereka adalah sektor industri. Oleh karena itu, sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud solusi yang melegakan bagi seluruh umat manusia ketika Kapitalisme-Sekular masih meracuni pemikiran mereka, kecuali Islam memang benar-benar diterapkan secara menyeluruh dalam naungan Khilafah. Lantas, kapan lagi kita mau berjuang untuk menerapkan sistem Islam kalau tidak sekarang? Menunggu bumi ini tenggelam? Wallahua’lam……….

PEMUDA: AGENT OF CHANGE?

PEMUDA: AGENT OF CHANGE?
Oleh: Masyhuri NIQ
Sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum agama Islam muncul di muka bumi, para nabi dan rasul telah diutus untuk menyampaikan wahyu Allah Swt. dan syari’at-Nya kepada umat manusia. Para rasul itu adalah orang-orang terpilih dari kalangan pemuda. Di antara mereka ada yang diberi kemampuan luar biasa dalam berargumen dan berdebat, sebelum usianya genap delapan belas tahun.
Nabi Ibrahim as. misalnya, seperti dijelaskan dalam Al-Qur?an, adalah pemuda yang sering berdebat dengan kaumnya, menentang peribadatan kepada patung-patung yang tidak dapat bicara, memberi manfaat dan mudharat (QS Al-Anbiya:60-67). Kita juga ingat kisah Ashabul Kahfi’ yang tergolong pengikut Nabi Isa as. Mereka adalah anak-anak muda yang menolak kembali agama nenek moyang mereka, menolak menyembah selain Allah Swt. Mereka bermufakat mengasingkan diri dari masyarakat dan berlindung dalam suatu gua, karena jumlah mereka relatif sedikit yakni tujuh orang di antara masyarakat penyembah berhala. Fakta sejarah ini terekam jelas dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi ayat 9-26, yang di antaranya:
”(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berd’;a: ’Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini’.” (Q.S. Al-Kahfi : 10)
”Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”. (Q.S. Al-Kahfi : 13)

Potensi Besar Pemuda-Mahasiswa dalam Kehidupan Masyarakat
Demikian keadaan dan peran golongan pemuda. Kiprah mereka telah terukir indah dalam tinta emas sejarah. Mereka merupakan tonggak dan potensi besar suatu kehidupan. Terlebih kelompok pemuda seperti mahasiswa; karena, selain diharapkan oleh umat, peranan mereka pun sangat didambakan oleh kelompok masarakat lainnya sebagai pionir perubahan ke arah yang lebih baik. Posisi mereka sebagai ”mahasiswa” memang menjadi peluang bagi mereka untuk mengembangkan potensi sebesar-besarnya. Tidak heran jika perubahan sosial politik diberbagai belahan dunia dipelopori oleh gerakan pemuda-mahasiswa. Sebagian sahabat yang menyertai Rasulullah Saw. dalam memperjuangkan Islam ”yang akhirnya berhasil menguasai lebih dari dua pertiga belahan bumi” adalah para pemuda yang menjadi murid (mahasiswa) Rasulullah Saw.
Secara fitrah, masa muda merupakan jenjang kahidupan manusia yang paling optimal. Dengan kematangan jasmani, perasaan dan akalnya, sangat wajar jika pemuda-mahasiswa memiliki potensi yang besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainya. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan banyak dimiliki pemuda mahasiswa. Pemikiran kritis mereka sangat didambakan umat. Di mata umat dan masyarakat umumnya, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi pemuda dan mahasiswa sekarang ini.
Namun, potensi tinggallah potensi. Ibarat pedang yang sangat tajam; ketajamannya tidak menjadi penentu bermanfaat-tidaknya pedang tersebut. Orang yang menggenggam pedang itu-lah yang menentukannya. Pedang yang tajam terkadang digunakan untuk menumpas kebaikan dan mengibarkan kemaksiatan, jika dipegang oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, jika berada di tangan orang yang bertanggung jawab, ketajaman pedang itu akan membawa manfaat. Demikian juga dengan potensi mahasiswa. Potensi yang begitu hebat itu bisa dipergunakan untuk menjunjung tinggi kebaikan, bisa juga untuk memperkokoh kejahatan dan kedurjanaan. Itulah sebabnya, begitu banyak contoh pemuda-mahasiswa yang berjasa menjadi pilar penentu kemajuan suatu peradaban, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi peradaban, dan menghancurkan kemuliaan suatu tatanan kehidupan.
Jadi, potensi yang dimiliki oleh pemuda-mahasiswa haruslah diarahkan untuk menyokong dan mempropagandakan nilai-nilai kebaikan. Seorang mahasiswa muslim tentunya akan berada di garis depan untuk membela, memperjuangkan, dan mendakwahkan nilai-nilai Islam. Seorang mahasiswa muslim tidak layak hanya berpangku tangan dan bermalas-malasan di tengah kemunduran umat yang sangat memprihatinkan ini. Seorang mahasiswa muslim jangan sampai menjadi penghalang kemajuan Islam dan perjuangan kaum muslimin. Na’udzubillah.

Menyorot Realitas Pemuda-Mahasiswa Muslim Kini
Kita akui, pengaruh sistem kehidupan yang berlaku dalam suatu kurun kehidupan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan perilaku manusia yang hidup pada zaman tersebut. Hal ini berlaku pula bagi pemuda-mahasiswa. Format kehidupan mahasiswa sekarang, sedikit banyak telah terpengaruh oleh sistem kehidupan yang berlaku sekarang, yaitu sistem demokrasi kapitalis.
Kalau memperhatikan apa yang terjadi di kampus-kampus di negeri ini, secara umum, paling tidak kita akan menemukan adanya beberapa kelompok mahasiswa muslim yang pemahaman dan kecenderungannya relatif berlainan. Citra dan cita-cita mereka juga relatif berbeda sesuai dengan landasan pemikiran yang mendasarinya.
Kelompok pertama, adalah mereka yang merasa tidak puas dengan kondisi sekarang, lalu melakukan berbagai perubahan. Mereka melihat bahwa sistem kehidupan yang berlaku sekarang hanya melahirkan penderitaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Arah perubahan ynag mereka inginkan ada yang tidak terlepas dari format ideologi kapitalis, ada juga yang terpengaruh ideologi sosialis.
Haluan politik kapitalis berjalan seiring dengan format demokrasi yang mereka terjemahkan sesuai dengan kondisi di negeri ini. Kelompok demokrat ini memang lebih menginginkan agar demokrasi yang ada benar-benar ditegakkan. Isu-isu bahwa kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bahwa rakyatlah yang paling berhak menentukan arah pemerintahan, paling sering mereka teriakkan dengan lantang. Terhadap berbagai masalah kemasyarakatan, isu hak asasi manusia (HAM) juga sering mereka jadikan bukti lemahnya penerapan demokrasi; terlepas dari paham atau tidaknya mereka akan hakekat demokrasi dan aturan produk barat lainnya.
Adapun yang terpengaruh oleh sosialis menghendaki perubahan yang lebih radikal. Mereka menuntut perubahan tatanan kehidupan melalui revolusi. Menurut mereka, suksesi kepemimpinan mestinya segera dilakukan. Cara yang mereka lakukan tidak jarang mengarah kepada pengrusakan, dengan membangkitkan emosi massa. Kerugian akibat aksi-aksi yang mereka lakukan tidak sedikit. Berbagai isu kesenjangan sosial dan kasus kerusuhan yang melibatkan massa menajdi sarana subur utnuk aksi mereka. Jurus mereka kerap kali memancing di air keruh.
Apapun alasannya, cara-cara yang ditempuh kelompok mahasiswa ini tidak bisa dibenarkan oleh Islam. Landasan perjuangan kelompok tersebut jelas tidak sesuai dengan pandangan Islam. Sebab, ide-ide sosialis ataupun kapitalis, termasuk demokrasi serta ide-ide yang terlahir darinya seperti HAM, pluralisme, dan lain-lain, merupakan pemahaman Barat yang kufur yang sangat bertentangan dengan Islam. Haram bagi kaum muslimin mengambil pemahaman dan aturan-aturan yang bukan berasal dari Islam. Allah Swt. berfirman:
”Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakanlah. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr : 7)
Hal lain yang sangat kita sayangkan, tidak sedikit mahasiswa muslim yang turut mempropagandakan dan memperjuangkan paham-paham tersebut. Di antara mereka ada yang melakukannya karena ikut-ikutan saja, karena kebodohannya, dan ada juga karena memang ingin memperjuangkannya. Akibatnya, secara tidak langsung, mereka menjadi prototipe dan agen-agen Barat dalam menyebarkan paham-paham yang sebenarnya merupakan racun bagi kaum muslimin.
Kelompok kedua adalah mereka yang cuek terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Yakni, mereka yang tidak peduli dengan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat. Bagi mereka yang penting selamat. ”Ngapain susah-susah mikirin nasib kaum muslimin yang lain. Mikirin diri sendiri aja udah susah”.
Memang sistem kapitalis yang menyetir pola kehidupan sekarang melahirkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Sistem ini memang berhasil memberikan nilai materi yang cukup berlimpah. Namun, ternyata keberhasilan itu hanya diraup oleh segelinitr orang yang ”kuat”, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesengsaraan. Lapangan pekerjaan semakin sempit, pengangguran kian membludak, dan berbagai tindak kriminal mulai menjadi wabah sosial kemanusiaan.
Kondisi seperti ini hanya akan melahirkan sistem individualis yang semakin tajam. Setiap manusia termasuk mahasiswa lalu berpikir pintas untuk ”menyelamatkan” diri, dan akhirnya tidak peduli dengan keadaan lingkungan. Standar perbuatan mereka adalah manfaat. Bagi mereka, yang penting bermanfaat dirinya dan tidak merugikan orang lain. Bagi mereka pacaran tidak menjadi masalah, asal tidak hamil dan tidak menimbulkan ”masalah”. Kelompok ini memang benar-benar ingin ”menikmati” dan hidup tenteram dalam kondisi sekarang. Mereka tidak peduli kenikmatan hidupnya itu diraih di atas penderitaan orang lain.
Bagi kelompok mahasiswa seperti ini ”keberhasilan studi” merupakan cita-cita yang paling dijunjung tinggi dan senantiasa jadi haluan perjuangannya. Bagi mereka, standar keberhasilan itu adalah meraih nilai studi yang setinggi-tingginya. Sains memang cukup mereka ”kuasai”, namun keilmuannya itu tidak berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam kehidupan masyarakat. Dalam studinya, kelompok ini memang relatif banyak berhasil; namun mereka belum mampu memenuhi dambaan dan harapan umat.
Kehidupan mahasiswa kelompok ini hanya berkisar antara kampus dan rumah. Angan-angan mereka ”kalau sudah lulus kelak adalah pekerjaan yang mantap dengan gaji yang besar, istri yang cantik, fasilitas yang mewah, dan anak-anak yang lucu dan manis. Persetan dengan lingkungan! Yang penting aku, istriku, anak-anakku, dan keluargaku ’aman’!”
Cara hidup kelompok ini jelas tidak dibenarkan oleh Islam. Dalam Islam tidak dikenal sistem kehidupan individualis. Kehidupan masyarakat dalam Islam tidak membeda-bedakan apakah seorang itu mahasiswa, pelajar, karyawan, atau lainnya. Semuanya bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan di sekelilingnya. Rasulullah Saw. mengingatkan:
”Barang siapa bangun pagi hari dan hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Barang siapa tidakpernah memperhatikan urusan kaum muslimin yang lain, maka tidak termasuk golonganku”. (HR. Thabrani dari Abu Dzar Al-Ghifari)
Kelompok ketiga adalah mereka yang ”terbius” sehingga terjerat dan terjerumus dalam bejatnya sistem kehidupan masa kini. Sistem kapitalis yang mengagung-agungkan materi, telah mencabut niali-nilai kehidupan lainnya, baik nilai-nilai akhlaq, kemanusiaan, dan kerohanian (agama). Korban-korban sistem ini sudah cukup bergelimpangan.
Sebagai contoh, tidak sedikit mahasiswa yang terjerumus dalam pemakaian obat-oabat terlarang. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terjerat dalam sindikat pengedar yang berskala internasional.
Mereka yang terjerumus dalam sek bebas tidak kalah mengerikan. Hasiltemuan FKM UNAIR menyebutkan bahwa pengidap AIDS sebagian besar kalangan remaja. Dari 100 responden remaja yang diteliti, FKM menyimpulkan bahwa 22,9 persen remaja usia 15 ? 19 tahun telah terkena virus HIV/AIDS, sedangkan remaja usia 20 ? 24 tahun yang terjangkit mencapai 77,1 persen. Fantastis dan sungguh mengerikan. Atau kita juga sangat dikejutkan oleh peristiwa yang menjijikkan, peristiwa VCD porno Itenas 1 Bandung dan Itenas 2 Medan. Sungguh memalukan dan mengerikan.
Tawuran remaja yang tadinya hanya merupakan tren remaja-remaja SMU, kini sudah diikuti oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Bahkan yang sangat menggelikan sekaligus memprihatinkan, sekitar dua bulan yang lalu, mahasiswa ITS yang cukup tersohor dengan teknologinya itu ikut-ikutan tawuran. Sungguh memalukan!
Kejadian-kejadian di atas hanya sekedar contoh kasus betapa kelompok mahasiswa yang demikian ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kasus aborsi, skandal dan jaringan seks bebas, perampokan, pembobolan bank, penodongan, dan tindak kriminal lainnya tidak jarang dilakukan oleh pemuda-mahasiswa.
Kelompok keempat adalah kelompok pemuda-mahasiswa yang peduli lingkungan dan sadar akan kerusakan dan kebrobokan sistem yang ada akibat tidak diberlakukannya aturan Islam dalam realitas kehidupan. Dengan pemahaman terhadap kenyataan seperti itu, disertai pendalaman terhadap tsaqofah Islam, mereka melakukan perjuangan dakwah, menyeru umat untuk kembali kepada Islam. Meskipun jumlahnya tidak terlampau besar, peranan mereka sangat diharapkan umat untuk melakukan perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang Islami.
Alhamdulillah, di berbagai perguruan tinggi perkembangan mereka cukup menggembirakan. Bahwa berjilbab itu merupakan kewajiban bagi seorang muslimah sudah menjadi opini yang tidak terbantahkan lagi. Sungguh menyedihkan kalau di antara mahasiswi muslim ada yang belum paham bahwa jilbab itu wajib. Padahal, jika hal itu dilalaikan, Allah SWT akan menurunkan azab yang sangat pedih.
Begitu juga, gerakan-gerakan kebangkitan Islam cukup santer di berbagai perguruan tinggi. Gerakan keIslaman yang berasal dari Timur Tengah ataupun bercorak lokal semakin bermunculan. Semuanya menyuarakan kebangkitan Islam. Pemahaman Islam yang mereka raih bukan pemahaman yang bersifat ?abangan?. Meskipu belajar di perguruan tinggi umum, kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab ?baik dari kalangan fuqaha tempo dulu maupun para mujtahid abad 20- pun menjadi santapan keseharian mereka.
Meskipun masih terdapat berbagai perbedaan visi tentang kebangkitan dan metode yang mereka lakukan, kelompok terakhir ini merupakan kelompok dambaan ummat menuju kemuliaan hidup . Umat Islam tidak mungkin bangkit dengan mengadosi aturan-aturan yang bukan berasal dari Islam, baik dari paham kapitalis mapun sosialis.
Ketahuilah, umat Islam tidak mungkin meraih kemulaiaan kalalu umatnya hanya memperhatikan kepentingan pribadi. Islam mustahil akan muncul dari generasi-generasi yang telah ? sekarat? karena korban kedurjanaan sistem kapitalis. Islam hanya akan bangkit melalui manusia-manusia yang ikhlas mewakafkan kehidupannya demi tegaknya Islam. Islam akan jaya di tangan mereka yang memegang Islam walaupun bagai memegang bara api. Meskipun secara materi kondisi mereka terkadang menyedihkan, perjuangan mereka tak pernah redah; karena mereka mendambakan kemuliaan surga yang dijanjikan Alloh SWT. Mereka yakin akan janji Allah SWT dalam Al-Qur?an :
?Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka?. (QS. At-Taubat : 111).

Khatimah
Demikianlah kondisi realita pemuda-mahasiswa yang terlahir dan hidup pada saat ini. Citra keIslaman mereka tidak sedikit yang tererosi dan terdegradasi oleh budaya-budaya asing yang membius dan meracuni harapn dan cita-cita mereka. Cinta mereka terwarnai kasih sayang semu, cinta produk manusia. Cinta yang lahir dari napsu demi kenikmatan sesaat. Cinta yang berakhir dalam kehampaan dan kegersangan.
Meskipun demikian, masih ada mahasiswa dan mahasiswi yang masih teguh memegang dan mempertahankan ?dengan sekuat tenaga dan segala kemampuan- citra mereka yang hakiki sebagai muslim. Merekalah the real agent of change . Semoga Alloh SWT senantiasa menyertai mereka. Amin Ya Robbal ?Alamin. Wa Allohu a?lam bi as-showab

Mengupas Sejarah Reformasi Ekonomi Umar bin Abdul Aziz, dan Mengapa Kita Gagal?

Mengupas Sejarah Reformasi Ekonomi Umar bin Abdul Aziz, dan Mengapa Kita Gagal?

Oleh: Taufik Muhammad

Umar Bin Abdul Aziz muncul di persimpangan sejarah umat Islam di bawah kepemimpinan dinasti Bani Umayyah. Pada penghujung abad pertama hijriyah, dinasti ini memasuki usianya yang keenam puluh, atau dua pertiga dari usianya, dan telah mengalami pembusukan internal yang serius. Umar sendiri adalah bagian dari dinasti ini, hampir dalam segala hal. Walaupun pada dasarnya ia seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu ulama-ulama Madinah, tapi secara pribadi ia juga merupakan simbol dari gaya hidup dinasti Bani Umayyah yang korup, mewah dan boros.

Itu membuatnya tidak cukup percaya diri untuk memimpin ketika keluarga kerajaan memintanya menggantikan posisi Abdul Malik Bin Marwan setelah beliau wafat. Bukan saja karena persoalan internal kerajaan yang kompleks, tapi juga karena ia sendiri merupakan bagian dari persoalan tersebut. Ia adalah bagian dari masa lalu. Tapi pilihan atas dirinya, bagi keluarga kerajaan, adalah sebuah keharusan. Karena Umar adalah tokoh yang paling layak untuk posisi ini.

Ketika akhirnya Umar menerima jabatan ini, ia mengatakan kepada seorang ulama yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Dan sebuah rangkaian cerita kepahlawanan telah dimulai dari sini, dari ketakutan pada neraka, saat beliau berumur 37 tahun, dan berakhir dua tahun lima bulan kemudian, atau ketika beliau berumur 39 tahun, dengan sebuah fakta: reformasi total telah dilaksanakan, keadilan telah ditegakkan dan kemakmuran telah diraih. Ulama-ulama kita bahkan menyebut Umar Bin Abdul Aziz sebagai pembaharu abad pertama hijriyah, bahkan juga disebut sebagai khulafa rasyidin kelima.

Mungkin indikator kemakmuran yang ada ketika itu tidak akan pernah terulang kembali, yaitu ketika para amil zakat berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika, tapi mereka tidak menemukan seseorang pun yang mau menerima zakat. Negara benar-benar mengalami surplus, bahkan sampai ke tingkat dimana utang-utang pribadi dan biaya pernikahan warga pun ditanggung oleh negara.

Memulai dari Diri Sendiri, Keluarga dan Istana Umar Bin Abdul Aziz menyadari dengan baik bahwa ia adalah bagian dari masa lalu. Ia tidak mungkin sanggup melakukan perbaikan dalam kehidupan negara yang luas kecuali kalau ia berani memulainya dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkannya pada keluarga intinya dan selanjutnya pada keluarga istana yang lebih besar. Maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi besar yang abadi dalam sejarah.

Begitu selesai dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik berupa uang maupun barang, ke kas negara, termasuk seluruh pakaiannya yang mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola hidupnya berubah secara total, dari seorang pencinta dunia menjadi seorang zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.

Setelah selesai dengan diri sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua pilihan kepada isterinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara, atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya, Fatimah Binti Abdul Malik, memilih ikut bersama suaminya dalam kafilah reformasi tersebut. Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya. Suatu saat anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau menjadi khalifah mereka tidak pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumnya. Tapi Umar justeru menangis tersedu-sedu dan memberika dua pilihan kepada anak-anak, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”

Selanjutnya, Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan ke keluarga istana, satu per satu dan perlahan-lahan. Keluarga istana melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka. Hingga suatu saat, setelah gagalnya berbagai upaya keluarga istana menekan Umar, mereka mengutus seorang bibi Umar menghadapnya.

Boleh jadi Umar tegar menghadapi tekanan, tapi ia mungkin bisa terenyuh menghadapi rengekan seorang perempuan. Umar sudah mengetahui rencana itu begitu sang bibi memasuki rumahnya. Umar pun segera memerintahkan mengambil sebuah uang logam dan sekerat daging. Beliau lalu membakar uang logam tersebut dan meletakkan daging diatasnya. Daging itu jelas jadi “sate.” Umar lalu berkata kepada sang bibi: “Apakah bibi rela menyaksikan saya dibakar di neraka seperti daging ini hanya untuk memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah menekan atau merayu saya, sebab saya tidak akan pernah mundur dari jalan reformasi ini.”

Langkah pembersihan diri, keluarga dan istana ini telah meyakinkan publik akan kuat political will untuk melakukan reformasi dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pemberihan KKN. Sang pemimpin telah telah menunjukkan tekadnya, dan memberikan keteladanan yang begitu menakjubkan.

 

Gerakan Penghematan

Langkah kedua yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam penyelenggaraan negara. Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama, karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan publik melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.

Sumber pemborosan dalam penyelenggaraan negara biasanya terletak pada struktur negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu disamping gaya hidup keseluruhan dari para penyelenggara negara. Setelah secara pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana, maka beliau pun mulai membersihkan struktur negara dari pejabat korup. Selanjutnya beliau merampingkan struktur negara, memangkas rantai birokrasi yang panjang, menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu negara menjadi sangat efisien dan efektif.

Simaklah sebuah contoh bagaimana penyederhanaan sistem administrasi akan menciptakan penghematan. Suatu saat gubernur Madina mengirim surat kepada Umar Bin Abdul Aziz meminta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan adminstrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis jawabannya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta mereka untuk hal-hal yang tidak mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu minta.”

 

Redistribusi Kekayaan Negara

Langkah ketiga adalah melakukan redistribusi kekayaan negara secara adil. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pemangkasan birokrasi, penyederhanaan sistem administrasi, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja negara, dan pada waktu yang sama, mensosialisasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar memperbesar sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.

Dalam konsep distribusi zakat, penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tapi juga dapat menjadi faktor stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.

Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolut. Sehingga negara mengalami surplus. Maka redistribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan +

dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan negara, seperti biaya perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara akan menanggung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.”

 

Mengapa Sejarah tak Berulang?

Sejarah selalu hadir di depan kesadaran kita dengan potongan-potongan zaman yang cenderung mirip dan terduplikasi. Pengulangan-pengulangan itu memungkinkan kita menemukan persamaan-persamaan sejarah, sesuatu yang kemudian memungkinkan kita menyatakan dengan yakin, bahwa sejarah manusia sesungguhnya diatur oleh sejumlah kaidah yang bersifat permanen. Manusia, pada dasarnya, memiliki kebebasan yang luas untuk memilih tindakan-tindakannya. Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan akibat dari tindakan-rindakannya. Tetapi karena kapasitas manusia sepanjang sejarah relatif sama saja, maka ruang kemampuan aksinya juga, pada akhirnya, relatif sama.

Itulah sebab yang memungkinkan terjadinya pengulangan-pengulangan tersebut. Tentu saja tetap ada perbedaan-perbedaan waktu dan ruang yang relatif sederhana, yang menjadikan sebuah zaman tampak unik ketika ia disandingkan dengan deretan zaman yang lain.

Itu sebabnya Allah Subhaanahu wa ta’ala memerintahkan kita menyusuri jalan waktu dan ruang, agar kita dapat merumuskan peta sejarah manusia, untuk kemudian menemukan kaidah-kaidah permanen yang mengatur dan mengendalikannya. Kaidah-kaidah permanen itu memiliki landasan kebenaran yang kuat, karena ia ditemukan melalui suatu proses pembuktian empiris yang panjang. Bukan hanya itu, kaidah-kaidah permanen itu sesungguhnya juga mengatur dan mengendalikan kehidupan kita. Dengan begitu sejarah menjadi salah satu referensi terpenting bagi kita, guna menata kehidupan kita saat ini dan esok.

Sejarah adalah cermin yang baik, yang selalu mampu memberi kita inspirasi untuk menghadapi masa-masa sulit dalam hidup kita. Seperti juga saat ini, ketika bangsa kita sedang terpuruk dalam krisis multidimensi yang rumit dan kompleks, berlarut-larut dan terasa begitu melelahkan. Ini mungkin saat yang tepat untuk mencari sepotong masa dalam sejarah, dengan latar persoalan-persoalan yang tampak mirip dengan apa yang kita hadapi, atau setidak-tidaknya pada sebagian aspeknya, untuk kemudian menemukan kaidah permanen yang mengatur dan mengendalikannya.

 

Masalah di Ujung Abad

Ketika Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebuah ketetapan sejarah, bahwa di ujung setiap putaran seratus tahun Allah Swt akan membangkitkan seorang pembaharu yang akan akan mempebaharui kehidupan keagamaan umat ini. Ketetapan itu menjadikan masa satu abad sebagai sebuah besaran waktu yang memungkinkan terjadinya pengulangan-pengulangan masalah, rotasi pola persoalan-persoalan hidup. Ketetapan itu juga menyatakan adanya fluktuasi dalam sejarah manusia, masa pasang dan masa surut, masa naik dan masa turun. Dan titik terendah dari masa penurunan itulah Allah Swt akan membangkitkan seorang pembaharu yang menjadi lokomotif reformasi dalam kehidupan masyarakat.

Itulah yang terjadi di ujung abad pertama hijriyah dalam sejarah Islam. Sekitar enam puluh tahun sebelumnya, masa khulafa rasyidin telah berakhir dengan syahidnya Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sofyan yang kemudian mendirikan dinasti Bani Umayyah di Damaskus, mengakhiri sistem khilafah dan menggantinya dengan sistem kerajaan. Pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam tidak lagi dipilih, tapi ditetapkan.

Perubahan pada sistem politik ini berdampak pada perubahan perilaku politik para penguasa. Secara perlahan mereka menjadi kelompok elit politik yang eksklusif, terbatas pada jumlah tapi tidak terbatas pada kekuasaan, sedikit tapi sangat berkuasa. Sistem kerajaan dengan berbagai perilaku politik yang menyertainya, biasanya secara langsung menutup katup politik dalam masyarakat dimana kebebasan berekspresi secara perlahan-lahan dibatasi, atau bahkan dicabut sama sekali. Itu memungkinkan para penguasa menjadi tidak tersentuh oleh kritik dan tidak terjangkau oleh sorot mata masyarakat. Tidak ada keterbukaan, tidak ada transparansi.

Dalam keadaan begitu para penguasa memiliki keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan. Maka penyimpangan politik segera berlanjut dengan penyimpangan ekonomi. Kezaliman dalam distribusi kekuasaan dengan segera diikuti oleh kezaliman dalam distribusi kekayaan. Yang terjadi pada mulanya adalah sentralisasi kekuasaan, tapi kemudian berlanjut ke sentralisasi ekonomi. Keluarga kerajaan menikmati sebagian besar kekayaan negara. Apa yang seharusnya menjadi hak-hak rakyat hanya mungkin mereka peroleh berkat “kemurahan hati” pada penguasa, bukan karena adanya sebuah sistem ekonomi yang memungkinkan rakyat mengakses sumber-sumber kekayaan yang menjadi hak mereka. Bukan hanya KKN yang terjadi dalam keluarga kerajaan, tapi juga performen lain yang menyertainya berupa gaya hidup mewah dan boros. Negara menjadi tidak efisien akibat pemborosan tersebut. Dan pemborosan, kata ulama-ulama kita, adalah indikator utama terjadinya kezaliman dalam distribusi kekayaan. Jadi ada pemerintahan yang korup sekaligus zhalim, penuh KKN sekaligus mewah dan boros, tidak bersih, tidak efisien dan tidak adil.

Itulah persisnya apa yang terjadi pada dinasti Bani Umayyah. Berdiri pada tahun 41 hijriyah, dinasti Bani Umayyah berakhir sekitar 92 tahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 132 hijriyah. Tapi sejarah dinasti ini tidaklah gelap seluruhnya. Dinasti ini juga mempunyai banyak catatan cemerlang yang ia sumbangkan bagi kemajuan peradaban Islam. Salah satunya adalah cerita sukses yang tidak terdapat atau tidak pernah terulang pada dinasti lain ketika seorang laki-laki dari klan Bani Umayyah, dan merupakan cicit dari Umar Bin Khattab, yaitu Umar Bin Abdul Aziz, muncul sebagai khalifah pada penghujung abad pertama hijriyah.

Yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz adalah mempertemukan keadilan dengan kemakmuran. Ketika pemimpin yang saleh dan kuat dihadirkan di persimpangan sejarah, untuk menyelesaikan krisis sebuah umat dan bangsa. Dan itu bisa saja terulang, kalau syarat dan kondisi yang sama juga terulang. Dan inilah masalah kita, pengulangan sejarah itu tidak terjadi, karena syaratnya tidak terpenuhi.

SECERCAH POTRET BURAM TAHUN 2007

SECERCAH POTRET BURAM TAHUN 2007
Oleh: Sukamto *)
Tahun 2007 sebentar lagi akan berakhir, dan fajar 2008 segera menyongsong. Banyak peristiwa sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya yang telah terjadi di sepanjang tahun ini. Terhadap beberapa isu terhangat di tahun 2007 yang erat kaitannya dengan sektor ekonomi, yang membuktikan kegagalan para pemimpin kita memimpin bangsa ini, penulis memberikan catatan sebagai berikut:

Anacam Disintegrasi
Tuntutan Otonomi Khusus menggema di empat Provinsi di Kalimantan. Tuntutan ini merupakan salah satu dari sebelas butir Deklarasi Rakyat Kalimantan (DRK) pada “Semiloka Kalimantan untuk Indoneisa” di Banjarmasin pada 22-24 Juni 2007 (Kpost, 27/07/07). Kesebelas Butir DRK tersebut adalah: agar pembagian antara pusat dan wilayah Pulau Kalimantan termasuk perimbanagan keuangan dialokaskan 50 : 50; agar pemerintah memberikan otonomi khusus untuk Kalimantan supaya rakyat dapat mengatur, mengelola, dan memanfaatkan Sumber Daya Alamnya bagi seluruh rakyat; agar Moratorium eksploitasi SDA Kalimantan khususnya pengelolaan hutan dan pertambangan segera ditentukan. Sebab, Moratorium penting untuk revitalisasi, rehabilitasi dan konservasi SDA bagi kesejahteraan rakyat dan lingkungan hidup; agar pemberian ijin investasi dari dalam dan luar negeri harus melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat local; agar Kabupaten/Kota juga membuat Peraturan Daerah yang melindungi masyarakat adapt; payung hukum berkenaan dengan perbatasan dan pengelolaan serta Rencana Induk Daerah Perbatasan harus dibuat; perlu ada Sistem Pembangunan Terpadu di wilayah Kalimantan. Khususnya, dibidang Sistem Transportasi Terpadu; agar Pemekaran Daerah diharapkan melahirkan pertumbuhan baru yang berorientasi pada kesejahteraan dan memperpendek rentang pelayanan publik. Di samping pemekaran dapat membuka daerah-daerah terpencil.; pemerintah harus mengubah paradigma dan memandang masalah kemiskinan, pendidikan dan kesehatan. Harus dipandang sebagai fenomena saling terkait, buka lagi sebagi objek pembangunan; kaukus Kalimantan DPD-RI diharapkan dapat mengawal tiap-tiap tuntutan dalam DRK; serta kewenangan legislasi DPD-RI dituntut sama dengan DPR-RI.

Isu Carbon Trading
Dalam kaitannya dengan Pemanasan Global, isu santer yang diangkat pada konferensi ini yaitu Emisi Karbon. Selama ini, Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara lebih murah bila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal, karena karbon yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara tidak dihitung sebagai biaya yang harus ditanggung. Sementara, untuk para pemilik lahan (hutan) yang menjadi penyerap karbon harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan lahan mereka. Maka, diperlukan pendapatan bagi para pemilik lahan untuk memelihara lahannya. Pemilik lahan biasanya negara-negara berkembang, sedangkan penghasil karbon adalah negara-negara industri maju. Jadi, negara-negara berkembang bisa memelihara hutan dengan kompensasi dari negara-negara industri maju, sehingga “semua” pihak bertanggung jawab terhadap pengelolaan karbon di bumi. Inilah logika berpikir yang melatarbelakangi isu Reduced Emissions from Deforestration and Degradation (REDD), reforestation, Clean Development Mechanisme (CDM) dan termasuk juga Perdagangan Karbon (Carbon Trading). Dengan bahasa sederhana, dengan adanya Carbon Trading (C-Trading), negara yang banyak pabriknya menyumbang emisi CO2, maka mereka harus membeli karbon. Caranya dengan menjaga hutan di suatu daerah agar hutan tetap lestari untuk menekan dampak Pemanasan Global. Sebagai kompensasinya mereka akan memberi sejumlah uang kepada negara lain yang hutan atau karbonnya telah mereka beli.
Pemerintah Pusat sendiri telah berencana “menjual” hutan Kal-Teng dan hutan di beberapa provinsi lain, yaitu Riau, Jambi, Kal-Tim, Kal-Bar, Sum-Sel, Papua, dan Papua Barat ke publik internasional (Bpost, 14/11). Kalau demikian faktanya, sekarang pertanyaannya, apakah dengan cara ini lantas dapat dikatakan “semua” pihak ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan karbon di bumi sebagaimana logika berpikir di atas? Tentu saja tidak! Cara ini sama halnya dengan perumpamaan “orang lain dengan seenaknya membuang tinja, sementara kita yang diminta membersihkannya”. Walhasil, merupakan suatu tindakan bodoh apabila pemimpin kita menyetujui MoU C-Trading ini. Kemudian, mengapa hanya negara-negar berkembang yang memiliki hutan saja yang dikambinghitamkan untuk melestarikan hutan? Sedangkan, negara-negara industri maju dibebaskan dari tanggung jawab ini. Padahal, merekalah musuh lingkungan yang telah jelas-jelas merusak bumi ini. Lalu, apakah dengan C-Trading ini memang benar-benar akan mengurangi Pemanasan Global atau bahkan sebaliknya? Logikanya, dengan adanya C-Trading ini, negara-negara industri maju ini akan lebih rakus lagi melakukan eksploitasi produksi. Pasalnya, mereka akan beranggapan “toh” sudah ada negara-negara yang memiliki hutan yang siap menyerap emisi karbon industri mereka.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting yang mesti kita cermati dan waspadai adalah adanya konspirasi politis-ideologis negara Kapitalis di balik MoU C-Tarding. Perdagangan karbon seperti ini pada akhirnya nanti akan menjadi bumerang bagi negara kita. Pasalnya, mungkin saja negara-negara industri maju meminta imbalan atas hutan yang turut mereka biayai. Dengan menerima uang kompensasi ini, Indonesia dipastikan hanya akan menjadi forrest scurity saja, bukan lagi sebagai pemilik hutan, sebab seluruh dunia akan merasa memiliki hutan Indonesia. Begitu juga dengan kemungkinan bila suatu saat negara-negara kapitalis ini berbuat sesuatu yang merugikan negara kita, Pemerintah tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kal-Teng sendiri sebagaimana kita ketahui dari 10 juta hektare kawasan hutan dan 3 juta hektare kawasan gambut memiliki sekitar 6,3 juta Giga ton deposit karbon (Bpost, 14/11). Kemudian, potensi lain berupa bahan galian seperti emas primer (28.620 ton), emas alluvial (10.947 ton), besi (1.452.640 ton), kaolin (38.584.000 ton), dan kristal kuarsa (18.755.640 ton), semuanya terancam lepas dari kepemilikan rakyat Indonesia bila terjadi taken kontrak oleh Pemerintah. Hal lain yang mungkin akan terjadi bila MoU ini ditaken oleh Presiden, otomatis hutan Kal-Teng tidak boleh diotak-atik lagi. Karena mau tidak mau hutan harus dijaga, masyarakat tidak bisa lagi berladang dengan cara membuka hutan, juga tidak akan bisa lagi memanfaatkan hasil hutan seperti menyadap karet dan rotan yang sudah menjadi kultur masyarakat Kal-Teng secara turun-temurun. Ini tentu saja akan berimbas pada akumulasi kerawanan sosial di tengah-tengah masyarakat. Walhasil, dengan menyetujui MoU C-Trading-menerima uang kompensasi tersebut, sama halnya pemerintah telah menjual hutan Indonesia kepada negara-negara Kapitalis dan memang akan memperpuruk kondisi rakyat ini.
Tindakan bijak yang seharusnya ditempuh adalah Indonesia memelihara sendiri hutan Indonesia, sementara negara-negara industri maju menanam sendiri hutan di negara mereka, bukan malah sebaliknya menyuruh negara-negara yang memiliki hutan untuk menjaga kelestariannya. Menurut M. Ridwan, peserta konferensi delegasi dari Indonesia, mengatakan bahwa Pemerintah hanya mengejar targen uang kompensasi sebesar 37,5 Trilliun dari negara-negara industri maju untuk biaya perawatan hutan di Indonesia. Dia juga mencurigai, apabila Pemerintah jadi menerima uang kompensasi ini, maka uang tersebut akan digunakan untuk menyambut suksesi presiden tahun 2009 (www.wikipedia.org). Ingat, no free lunch bagi negara-negara kapitalis.

Revitalisasi Perkebunan
Berdasarkan data dari Save Our Borneo (SOB) Kal-Teng, sejak 1980-2006 Pemerintah Kal-Teng telah mengeluarkan ijin pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit kepada 424 perusahaan dengan total luasan mencapai 2.780.219 hektare. Seiring dengan digulirkannya Program Revitalisasi Perkebunan tahun 2007-2010, maka akan ditingkatkan dengan penambahan seluas 427.000 kektare. Bahkan Pemerintah Pusat telah mencanangkan pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan Perbatasan Indonesia dengan Malaysia dengan luasan lahan 1.800.000 hektare. Jika terealisasi, Kal-Teng akan mendapatkan 30 % atau sekitar 540.000 hektare dari luas total, maka luas total perkebunan Kelapa Sawit di Kal-Teng akan mencapai 3.362.919 hektare (Kpost. 03/03/07).
Gubenur Kal-Teng, Teras Narang dalam pidatonya (TVRI, 24/01/07) mengatakan saat ini telah ada 254 ijin yang dikeluarkkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit, dengan 171 perkebunan yang belum operasional dan 83 perkebunan yang operasional serta 23 pabrik Kelapa Sawit telah dibuka. Target perkebunan untuk Kelapa Sawit dan Karet adalah seluas 4.200.000 hektare. Ditegaskan kembali oleh Teras Narang (Kpost, 16/07/07) sampai saat ini telah terdapat 313 ijin yang telah keluar, sebanyak 143 perusahaan pemegang ijin telah operasional dengan luas areal 1.928.062 hektare. Sedangkan sebanyak 202 ijin dengan luas 2.733.003 hektare belum operasional. Apabila ini tereliasasi, maka jumlah luas Perkebunan Kelapa Sawit Kal-Teng akan mencapai 4.661.065, kemungkinan ini belum termasuk rencana Program Revitalisasi Perkebunan Kal-Teng dan Pengembangan Kelapa Sawit di Perbatasan Kalimantan-Malaysia. Padahal kita tahu luas wilayah Kal-Teng yaitu 15.536.400 hektare, sehingga nantinya sebanyak 30,35 % dari wilayah Ka-Teng akan atau telah terkonversi menjadi monokulturisasi Pekebunan Kelapa Sawit. Seiring dengan berjalannya waktu, maka dipastikan akan lebih banyak investor yang akan berivestasi di Kal-Teng.
Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Kal-Teng sampai saat ini telah menimbulkan beberapa permasalahan yang amat mendesak mendesak untuk segera diselesaikan terkait dengan kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Pada tahun 2004 saja, kerusakan hutan dan lahan di Kal-Teng telah mencapai 4.780.000 hektare dari 15.336.400 hektare luas Kal-Teng. Direktur Eksekutif WALHI Kal-Teng (2005), Nordin mengatakan praktik yang terjadi di lapangan beberapa Perkebunan Kelapa Sawit tidak di Kawasan Pengembangan Peoduksi (KPP) atau di Kawasan Pemukiman atau Penggunaan Lainnya (KPPL), melainkan di kawasan hutan.
Memang pertumbuhan subsektor Kelapa Sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingan untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal Perkebunan Kelapa Sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia. Tanpa adanya upaya pencegahan yang serius, ancaman berbagai bencana alam ke depan akan menjadi suguhan yang selalu dinikmati rakyat Indonesia. Memang, ambisi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak Kelapa Sawit terbesar di dunia akan mengakibatkan kesengsaraan yang jauh lebih mengerikan bila dibandingkan dengan keuntungan sesaat yang diterima pemerintah dan “rakyat”, atau lebih tepatnya “segelintir rakyat” . Sebut saja Program Pengembangan Kelapa Sawit di perbatasan Indonesia-Malaysia seluas 1.800.000 hektare dan Program Biofuel 6.000.000 hektare (Tribun Kal-Tim, 6 Juta Ha untuk Kembangkan Biofuel). Program Pemerintah itu tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk Pemerintah adalah wilaya hutan. Sebelum mulai berinvestasi, para investor sudah memperoleh manfaat dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepada Pemerintah.
Bagaimanapun juga, apabila kita tidak seriuns menyikapi ini semua, mau tidak mau kita harus mengenyam bencana di masa depan. Beberapa ancaman yang jelas-jelas di depan mata adalah punahnya plasma nutfa (contoh: PT KUCC, PT BEST dan PT GATT) di Ko-Tim, Sampit mengancam kelestarian Taman Nasional Tanjung Puting). Selain itu, tanaman Kelapa Sawit rakus akan air, di mana satu hari satu pohon Kelapa Sawit bisa menyerap air 12 liter (Hasil Peneliti Lingkungan dari Universitas Riau, T. Ariful Amri, M.Sc., Pekan Baru, Riau, dalam Riau Online). Bahaya banjir adalah ancaman bencana yang sulit untuk kita elakkan. Pembakaran yang dilakukan dalam tahap land clearing juga akan menyumbang karbon yang tidak sedikit ke atmosfer yang sacara tidak langsung juga menyumbang emisi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan Pemanasan Global (Globall Warming). Kesehatan manusia pun akan terancam akibat over toxicity dari residual effect beberapa jenis fertilizer dan pestisida yang digunakan pada aeal perkebunan. Karena kita tahu Kal-Teng memiliki Daerah Aliran Sungai dan sebagian besar rakyat Kal-Teng terkonsentrasi di sini. Bisa kita bayangkan, mereka akan menikmati air sungai yang telah terkontaminasi dengan Milliaran ton fertilizer dan pestisida untuk keperluan makan minum dan kebutuhan lainnya.
Masih banyak lagi fenomena lainnya yang telah menambah rentetan kesengsaraan anak negeri ini karena sikap eksploitatif para kapitalis biadab yang sengaja diundang para penguasa negeri ini. Kemudian mereka (kapitalis) pulang ke kandangnya bermandikan harta jarahan dari negeri jajahannya.

Akar Masalah; Kezaliman Kapitalisme
Ya… kita tentu semua telah sepakat dan tidak memungkiri bahwa Sistem Ekonomi Kapitalis yang hanya berpihak pada segelintir orang, yaitu para pemilik modal (capital) telah melahirkan kesenjangan ekonomi (economic gap) dan kesenjangan sosial (social gap) yang menjadi akar persoalan separatisme dan disintegrasi.
Wajar memang kalau banyak daerah menuntut otonomi khusus karena sifat pemerintah yang selalu welcome terhadap para investor asing. Sementara rakyatnya ditelantarkan oleh tamu-tamu asing ini (baca: kapitalis asing). Para kapitalis asing yang menikmati hasilnya, sedangkan penduduk pribumi hanya menjadi pekerja dengan pendapatan ala kadarnya ditambah ”manfaat” lain berupa kerusakan lingkungan.
Kita pun menyaksikan bagaimana eksploitasi emas dan tembaga oleh PT Freepot di Papua yang merupakan tambang emas terbesar di dunia (2,16 – 2,5 miliar ton), tetapi di sisi lain banyak rakyat Papua yang hanya memakai koteka, terserang busung lapar, gizi buruk, dan himpitan kenestapaan lainnya. Kemudian kasus Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Hutan-hutan di di Kalimantan juga dirambah, kemudian ditelantarkan. Meskipun dikelola juga untuk kepentingan mereka, semisal untuk Perkebunan Kelapa Sawit dengan tanpa menghiraukan aspek kelestarian lingkungan.
Pemanasan global bukan hanya tragedi alam yang terjadi karena meningkatnya suhu bumi akibat dari meningkatnya kadar CO di atmosfer, akan tetapi Pemanasan Global lebih terkait dengan sistem sosial yang sedang berkembang saat ini. Sistem Ekonomi Kapitalisme yang merupakan sistem sosial yang diterapkan hampir di seluruh permukaan bumi saat ini diduga kuat menjadi biang dari munculnya pemanasan global.
Kondisi kekacauan lingkungan yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara historis dan filosofis sesungguhnya berakar pada Ideologi Kapitalisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya (antroposentrisme). Lingkungan dipandang sebagai suatu objek yang dapat dieksploitasi secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Descrates “kita semua adalah tuan-tuan dan pemilik alam semesta”.
Ideologi Kapitalisme yang Materialis membuat gaya hidup seseorang menjadi rakus-serakah dan tak pernah merasa cukup. Akibatnya, banyak energi yang harus dihabiskan untuk memenuhi ‘hasrat binatang’ dari manusia-manusia yang menganut paham sesat ini sehingga semakin banyak pula CO2 yang akan dibuang. Ini dikarenakan indikator untuk menentukan tingkat kebahagian seseorang ada pada seberapa besar materi yang dia kuasai, hasilkan dan nikmati. Semakin banyak seseorang menguasai materi-materi atau kekayaan yang ada di dunia ini maka semakin bahagialah dia.

Miskin di Negeri Sendiri
Ya… kita menjadi MIRIS (MIskin di negeRI Sendiri), di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah, di tengah-tengah untaian jamrud khatulistiwa, yang diumpamakan oleh para pendahulu kita dengan ungkapan ”gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.
Begitulah… sistem ekonomi kapitalis yang telah melahirkan ketidakadilan. Kalau yang menjadi solusi adalah dengan berubahnya pengurusan dari pusat ke daerah (dari yang sentralistik menjadi desentralistik), atau dengan otonomi khusus, atau bahkan dengan memisahkan diri, tentu saja tidak menjadi solusi, karena tidak jauh berbeda antara penguasa di pusat dan di daerah, mereka sama-sama pengkhianat rakyat. Dengan adanya otonomi daerah/otonomi khusus yang mengobral SDA adalah Gubenur dan Bupati/Walikota, bukan Presiden lagi. Opini ini juga yang selama ini berkembang di tengah-tengah masyarakat; otonomi daerah hanya menciptakan raja-raja kecil di daerah.
Kita seharusnya jangan berpikir praktis dan pragmatis, tetapi harus mampu memahami dan menempatkan permasalahan yang ada dengan tepat. Sehingga, memang akan benar-benar menemukan jawaban atas problematika yang ada, bukan malah terjerumus ke situasi yang lebih parah lagi. Dengan otonomi khusus, atau bahkan dengan memisahkan diri akan mempermudah kepentingan asing mengobok-obok kita.
Cukuplah sudah Timtim jadi pelajaran bagi kita, yang akhirnya sumber daya alam minyak dirampas oleh kapitalis Australia. Dan akhirnya rakyat Timtim harus merasakan kezaliman dengan perang saudara berkepanjangan karena diadu domba. Ini bukan berarti kita mencontoh Timtim, tetapi cukup sudah itu menjadi pelajaran yang pertama dan terakhir…
Ideologi Kapitalisme yang telah menempatkan manusia sebagai antroposentrisme harus dicabut sampai ke akar-akarnya dan menggantinya dengan aturan-aturan yang bersumber dari Sang Pencipta, Allah Swt., yaitu aturan Islam. Hanya dengan itu kita akan bangkit dari keterpurukan. Ketidakjelasan kepemilikan umum dan individu atau bahkan malah sengaja dikaburkan telah memberikan kemudahan investasi yang mengarah ke privatisasi kepada segelintir orang untuk mengeruk harta kekayaan yang menjadi milik umum (public property/milkiyah ammah). Ini sangat jauh berbeda dengan konsep kepemilikan dalam Islam.

Kembalikan Milik Publik
Adanya eksploitasi SDA oleh swasta tidak dibenarkan dalam Islam, karena itu bukan milik individu atau swasta, melainkan milik umum. Untuk itu, Islam datang sebagai Problem Solving atas semua masalah-masalah umat manusia di muka bumi dengan menerapkan aturan-aturan pencipta.
Dalam Islam barang-barang tambang yang depositnya tidak terbatas dan barang-barang yang menjadi kebutuhan vital masyarakat seperti air dan Sumber Daya Hutan semua menjadi milik umum dan masyarakat berhak menikmatinya. Pemerintah seharusnya bertindak sebagai pengelola dan hasilnya dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pelayanan-pelayanan publik, seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, jaminan keamanan, dll. Rasulullah Saw. bersabda ”Manusia berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput, dan api”. Tanpa perubahan sistem secara mendasar pula, maka upaya-upaya untuk mengatasi Pemanasan Global akan sia-sia belaka. Apalagi hanya dengan cara C-Trading yang tidak lain adalah permainan negara-negara industri maju yang berusaha mensubordinatkan negara-negara berkembang sebagai objek eksploitasi mereka. Alih-alih itu semua akan mengatasi Pemanasan Global, malah meningkatkannya yang mungkin saja terjadi. Eksplotasi hutan secara mebabi buta pun tidak akan terjadi apabila Sumber Daya Hutan yang ada dikelola secara Islami. Begitu juga dengan acaman separatisme dan disintegrasi akan dapat dicega. Buat apa juga mereka berpikir melepaskan diri dan memberontak apabila apa yang menjadi kebutuhan mereka telah dipenuhi dengan diterapkan aturan yang bersumber dari Robbul Izzati.. Mari kita renungkan bersama firman Allah Swt berikut: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. ar-Ruum [30]:41)
Keutuhan NKRI pun akan terjamin, tidak terkoyak dirong-rong sedikitpun oleh separatis karena kuatnya persatuan dan kesatuan kita, di samping juga jaminan terciptanya keadilan bagi masyaraat. Hanya dengan menerapkan Syari’at Islamlah persatuan dan kesatuan negeri-negeri Muslim dan janji Allah pun akan terwujud, yaitu janji kemuliaan dan kesejahteraan bagi semua, Muslim dan non-Muslim, tidak hanya di atas kertas. Sehingga, Islam benar-benar akan menjadi rahmatan lil ’alamin, dan menjadi satu-satunya solusi atas segala problematika umat saat menggantikan Ideologi Kapitalisme yang bathil. Insya Allah, Wallahua’lam…

GOLPUT 38,59 %, PEMENANG PILKADA KOTA PALANGKA RAYA

GOLPUT 38,59 %, PEMENANG PILKADA KOTA PALANGKA RAYA
Oleh: Sukamto *)
Gaung pemilihan umum kepala daerah secara langsung (pilkadasung) yang menjadi maskot demokrasi di berbagai tempat menyimpan banyak problem. Di samping semakin menajamnya konflik horisontal antar pendukung calon, juga makin rendahnya partisipasi masyarakat yang diindikasikan oleh tingginya angka golput. Sebagai contoh, Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Palangka Raya baru-baru ini. Sebagaimana dimuat di Kompas (18/07), hasil sidang pleno terbuka rekapitulasi penghitungan suara Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Palangka Raya (18/7) menunjukkan pasangan Saily Muchtar – Tagah Pahoe meraih 16.465 suara (21,53 %), Yansen Binti – Tajudin Noor meraih 6.255 suara (8,18 %), Yurikus Dimang – Wahyudie F. Dirun meraup 18.912 suara (24,73 %), M. Riban Satia – Maryono meraup 23.376 suara (30,56 %), dan Salundik Gohong – Muhammad Sriosako meraih 11.477 suara (15 %).
Sebagaimana yang dilaporkan oleh KPUD Kota Palangka Raya bahwa jumlah pemilih terdaftar berjumlah 128.800 orang, surat suara sah berjumlah 76.485 suara, dan surat suara tidak sah berjumlah 2.617 suara (Kpos,19/07). Berarti ada sekitar 49.698 orang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput. Apabila persentase tersebut dihitung berdasarkan jumlah pemilih terdaftar (128.800 orang), maka golputnya adalah 38,59 %, pasangan Saily Muchtar – Tagah Pahoe meraih 12,78 % suara, Yansen Binti – Tajudin Noor 4,86 %, Yurikus Dimang – Wahyudie F. Dirun meraup 14,68 %, M. Riban Satia – Maryono meraup 18,15 %, dan Salundik Gohong – Muhammad Sriosako meraih 8,91 %.
Dari deretan angka – angka tersebut di atas, dapat kita artikan bahwa ”golput” memenangkan pemilihan umum kepala daerah Kota Palangkaraya, dengan perolehan suara sebesar 49.698 suara (38,59 %). Kemudian, disusul dengan pasangan calon walikota dan wakil walikota yang lain berturut – turut pasangan M. Riban Satia – Maryono pada urutan kedua, Yurikus Dimang – Wahyudie F. Dirun pada urutan ketiga, Saily Muchtar – Tagah Pahoe pada urutan keempat, Salundik Gohong – Muhammad Sriosako pada urutan kelima, dan Yansen Binti – Tajudin Noor pada urutan keenam dengan perolehan suara tertinggal jauh di bawah yang diraup oleh ”golput”, sebagaimana disajikan pada angka – angka di atas. Ini berarti bahwa perolehan suara lima kontestan calon walikota dan wakil walikota yang berkompetisi kalah telak dengan yang memilih ”golput” alias tidak mau memilih. Pilkada di Sumatera Utara dan Jawa Tengah pun tidak jauh berbeda. Tingkat partisipasi masyarakat kurang dari 60 %. Di Jawa Barat ada sekitar 10 juta orang tidak mengunakan hak pilihnya atau golput. Apabila persentase tersebut dihitung berdasarkan total pemilih (28 juta), maka angka golputnya mencapai 35.7 %. Sebuah angka yang fantastis. Begitu juga dengan fenomena – fenomena yang terjadi di daerah lain, tingkat partisipasi atau pun yang memilih golput secara kuatitas relatif sama, Pilkada Jakarta dan Jawa Timur misalnya. Golput lah peraih suara terbesar. Parahnya lagi dalam kondisi demikian, rakyat lah yang kemudian dikambinghitamkan, kesadaran berdemokrasi sebagian rakyat Indonesia masih rendah katanya. Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Tentu ada sejumlah hal yang dapat dicermati dari kondisi hasil pilkada yang demikian. Pertama, tingginya angka golput tersebut menunjukkan bahwa masyarakat saat ini mulai apatis terhadap ‘pesta demokrasi’ untuk memilih pemimpin daerah. Faktanya, miliaran rupiah telah dikucurkan untuk beberapa acara pilkada, namun pemimpin yang terpilih tidak mampu mewujudkan perbaikan tingkat kehidupan masyarakat. Justru yang mendapat perbaikan hanya terbatas pada pemimpin dan keluarganya serta partai-partai yang menjadi pendukungnya saat pilkada.
Kedua, fenomena golput juga dapat menjadi simbol ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih identik dengan kuda tunggangan yang super komersial, siap direntalkan kepada siapa saja yang ingin berkuasa. Bukan rahasia umum lagi, setiap orang yang berhasrat berkuasa lewat jalur pilkada, mereka harus mengeluarkan ratusan juta bahkan milyaran rupiah untuk menyewa parpol. Kalau bukan dalam bentuk tunai bisa juga berupa komitmen pemberian sesuatu yang lain yang tidak kalah tinggi nilai ekonomisnya apabila mereka berhasil merebut tampuk kekuasaan. Maka, sudah menjadi gejala umum, di suatu daerah partai A berkoalisi dengan partai B menghadapi partai C dalam upaya memenangkan calon seorang bupati, walikota, atau gubernur. Sementara, pada daerah yang lain, partai A tersebut justru berkoalisi dengan partai C untuk menghadapi partai B. Realitas semacam ini bisa dibaca, bahwa koalisi partai dibangun atas dasar kepentingan sesaat yang sifatnya praktis. Mereka terjebak pada pragmatisme, bukan lagi garis perjuangan partai. Padahal, di tengah-tengah masyarakat mereka sering menggembor-gemborkan garis perjuangan partai terutama saat kampanye. Parpol-parpol telah terjebak atau menjebakkan diri ke dalam pragmatisme yang bertumpu pada kepentingan sesaat.
Ketiga, alasan orang untuk golput memang beragam, ada yang hanya bersifat alasan teknis, misalnya saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Karena, menunggu saudara yang sedang sakit di tempat yang jauh dari TPS tempat yang bersangkutan menyalurkan hak pilihnya, karena tidak terdaftar, dan lain – lain. Ada pula yang diakibatkan oleh alasan ideologis, misalnya para calon tidak ada yang secara terang – terangan dan serius akan menyandarkan kebijakannya pada ideologi Islam. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap pilkada tersebut bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andai kata hal itu dinilai penting apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS. Sedangkan, yang punya alasan ideologis karena menganggap bahwa perubahan menuju perbaikan hanya mungkin dilakukan jika syari’at Islam dijadikan landasannya. Sehingga, dianggap hanyalah harapan hampa bagi perbaikan jika yang terjadi hanya perubahan personal pemimpin tanpa disertai perubahan sistem. Sebagaimana diketahui, para pengambil kebijakan di negeri ini (eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol) telah menjadikan politik dan ekonomi berjalan di atas rel rusak kapitalisme. Sistem ini telah menyuburkan praktek politik opportunistik yang hanya mengabdi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan partainya. Sementara rakyat hanya menjadi alat legalitas untuk meraih kekuasaan melalui pilkada dan pemilu. Sementara fakta buruk dalam ekonomi, sistem ini telah memberikan keleluasaan kepada para pemilik modal untuk menguasai berbagai sumber kekayaan negara. Misalnya, pemberian konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola tambang minyak, emas, juga pemberian ijin kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan, atau barang tambang lainnya. Dengan cara seperti ini, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat.
Keenam, merupakan konsekuensi logis bagi umat Islam untuk bangkit guna mengakhiri kesengsaraannya dalam hegemoni sistem politik dan ekonomi kapitalisme ini. Karenanya, umat Islam memerlukan wadah gerakan perjuangan yang terbebas dari pragmatisme politik yang sedang porak-poranda seperti yang terjadi saat ini. Yakni sebuah gerakan umat yang secara konsisten berupaya mencabut sistem kapitalisme yang menjadi akar penyakit, kemudian menggantinya dengan Islam secara totalitas. Cepat atau lambat, secara pasti gerakan umat semacam ini akan sampai pada titik waktunya untuk menghadirkan kembali sistem Islam yang berasal dari Allah Swt, yaitu Khilafah Islamiyah. Sistem ini akan mengelola kekayaan negeri-negeri Muslim di dunia, baik sumberdaya manusia maupun alam, secara amanah, efektif, efisien, dan profesional. Hanya dengan cara inilah umat Islam akan mampu mengakhiri kesengsaraannya dalam cengkraman politik yang opportunistik dan ekonomi yang materialistik.
Memang, realitas di tengah masyarakat berkata bahwa demokrasi harus dibayar mahal, ditinjaun dari segala aspek. Partai – partai atau para politisi Islam seharusnya tidak perlu canggung lagi untuk menghadirkan Islam secara kaffah. Kemenangan – kemengangan calon kepala daerah yang diusung oleh koalisi beberapa partai Islam seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita. Adalah sebuah optimisme ketika partai – partai atau para politisi Islam lebih konsisten menyuarakan Islam secara kaffah, tanpa ada tendensi apapun, Umat pasti akan menyaksikan itu. Lebih – lebih Allah Swt lah yang menyaksikannya. Lebih – lebih, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh penghuni bumi apa bila syari’at Allah diterapkan secara kaffah. Sekaranglah saatnya melakukan perubahan paradigma, transformasi paradigma, dari hanya sekedar menganggap Islam sebagai komoditas politik menjadi sebuah konsep yang wajib diperjuangkan dan diterapkan. Semoga, kepala daerah dan wakil kepala daerah (walikota dan wakil walikota) terpilih dapat menggunakan amanah yang ada sebagai washilah perjuangan penuju ridho Allah Swt ….. Mari kita renungka seruan Allah Swt berikut ini: “Hai orang – orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan serua Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu”. (TQS. Al – Anfal: 24) ….. Walahua’lam bi ash shawab …..

MEMBUANG NASIONALISME KE TEMPAT SAMPAH

MEMBUANG NASIONALISME KE TEMPAT SAMPAH
(Refleksi Hari Pahlawan 10 November)
Oleh: Sukamto *)
Kondisi kebanyakan negeri saat ini sangat memilukan. Milyaran penduduk negerinya tersekat-sekat menjadi negara-negara kecil dalam kungkungan nasionalisme atau negara bangsa (nation state). Bahkan negara-negara kecil ini akan terus bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik dari penjajah Barat pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia, dengan gerakan separatisme dan prinsip “right of self determinism”. Akhirnya, banyak negera-negara kecil bak hidangan di meja makan yang harus siap dilumat oleh AS dan sekutunya kapan dan dari mana saja saja mereka mau. Kasus lepasnya Timor Timur dari Indonesia adalah contoh yang amat vulgar di hadapan mata kita. Belum lagi prediksi mantan Ketua Badan Intelejen Nasional, Hendropriyono Sutarto, beberapa waktu yang lalu, tentang ancaman sparatisme dan disintegrasi Papua, Maluku, dan Borneo.
Kondisi cerai-berai ini dengan sendirinya membuat rakyat menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara imperialis. Prinsip “devide et impera” ternyata belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih. Karena penjajahan secara fisik/militer menelan dana yang sangat besar, maka beralihlah ke metode penjajahan gaya baru. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor liberalisme melalui film, lagu, novel, radio, musik, dan lain-lain; termasuk juga di bidang pendidikan, upaya swastanisasi, kapitalisasi, sekulerisasi, komersialisasi, liberalisasi, privatisasi, dan profitisasi adalah ancaman besar bagi wajah pendidikan Kita. Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang akan disyahkan pada tahun 2010, seharusnya menjadi kajian tersendiri bagi semua kalangan yang peduli dengan nasib anak bangsa ke depan, termasuk kalangan intelektual dan mahasiswa. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia (HAM), pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi rakyat yang terpecah-belah tadi. Dengan demikian, nasionalisme dapat ditunjuk sebagai salah satu biang rese perpecahan dan keterpurukan rakyat yang dahsyat di bawah tindasan imperialisme Barat gaya baru tersebut.
Maka dari itu, salah besar kalau rakyat terus mengagung-agungkan ide rusak itu, atau menganggapnya sebagai ide sakral yang tidak boleh dibantah. Padahal, faktanya, nasionalisme telah menghancur-leburkan persatuan di banyak negeri. Maka, Kita harus segera mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir peradaban secara nista di bawah telapak kaki para penjajah.

Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa”. Pengertian “bangsa” ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsa” kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Penduduk pesisir timur Sumatera (yang ber”bangsa” Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang ber”bangsa” Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Mereka pun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasi” sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasi” sebagai satu “bangsa” dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang “sama” bisa menjadi “bangsa” yang berbeda, sementara yang “tidak sama” bisa menjadi satu “bangsa”.
Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkret. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar. Nasionalisme tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola berfikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri ingin mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat dimana mereka hidup dan menggantungkan diri. Ikatan semacam ini muncul ketika ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Tetapi bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan diusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Sekarang mari Kita mencoba mengkomparasikan antara ikatan nasionalisme dengan kumpulan segerobolan ayam; anak ayam dan induknya. Bila Kita amati dengan seksama, segerombolan ayam yang mencari makan, mereka akan berpencar, terkadang induk ayam pun sampai terpisah meninggalkan anaknya atau sebaliknya (bila anak ayam telah mampu mencari makanan sendiri). Mereka sibuk mencari makan sendiri. Akan tetapi, ketika ada bahaya mengancam, misalnya ada seekor anjing atau musang yang siap menerkam anak ayam, sang induk spontan membela dan melindungi anak-anaknya. Artinya bahwa, ikatan nasionalisme adalah ikatan yang rusak dan merusak karena sifatnya rendah, emosional, dan temporal.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia; serta pemikiran tentang pengaturan kehidupan yang lahir dari pemikiran menyeluruh itu untuk memecahkan problem-problem manusia. Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan manusia. Sebab dia memiliki konsep-konsep yang menerangkan makna keberadaan manusia dalam kehidupan, menjelaskan pandangan hidup serta jenis peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya, tidak dimiliki oleh nasionalisme.

Munculnya Nasionalisme
Sejarah awal munculnya nasionalisme dapat Kita lihat pada beberapa fakta berikut. Pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah terkemuka dengan nama Al-Madrasah Al-Wataniyah didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani. Nama sekolah ini menyimbolkan esensi misi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air). Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa’ah Badawi Rafi’ At Tahtawi mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Young Turk) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki.
Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa ini tiada lain adalah hasil rekayasa Barat (Taqiyuddin An-Nabhani, 1994)
Lahirnya Indonesia juga tak lepas dari rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme. Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan kolonialis Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan sejenisnya.
Menyikapi Nasionalisme
Berdasarkan tinjauan filosofis dan historis di atas, dapat kita pahami bahwa nasionalisme sebenarnya adalah ide kosong dan tidak layak untuk membangkitkan manusia. Nasionalisme dalam sejarahnya dan konteks kekinian juga terbukti telah membawa kemudharatan, penderitaan, dan kesengsaraan umat manusia. Kasus disintegrasi Timor timur cukuplah menjadi pelajaran bagi Kita. Logikanya, kalau Kita adalah bangsa yang menjujung tinggi nasionalisme, atas dasar apa kita merelakan Timor Timur lepas? Apakah masuk akal ide destruktif dan berbahaya seperti itu kita terima?
Berdasarkan hal ini, sudah saatnya Kita menyadari kontradiksi nasionalisme. Kita hendaknya menyikapi nasionalisme dengan tegas, yaitu membuang nasionalisme ke tempat sampah. Sebab, nasionalisme memang ide rusak dan merusak dan terbukti tidak ada gunanya bagi rakyat. Nasionalisme adalah ide kotor. Nasionalisme adalah paham sampah, produk peradapaban sampah, Kapitalisme. Maka, sudah selayaknyalah produk kotor peradaban sampah itu Kita buang ke tempat sampah. Apa gunanya ide yang absurd dan kosong? Apa gunanya ide yang membuat umat terpecah-belah? Apa gunanya ide yang membuat kita terus dijajah dan dieksploitir oleh imperialis?
Karena itu, sekali lagi marilah Kita buang nasionalisme yang destruktif itu! Mari Kita kubur nasionalisme yang hanya melanggengkan penjajahan atas Kita! Marilah Kita kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan ikatan nasionalisme yang palsu dan rapuh. Marilah kita berusaha untuk mewujudkan ikatan yang suci itu dalam bentuk satu institusi politik pemersatu umat di seluruh penjuru dunia, yakni Khilafah Islamiyah yang akan menjaga persatuan dan kesatuan seluruh umat manusia tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan, sekaligus menjamin kesejahteraannya. Wallahua’lam ni ash shawab…

MENYOAL HARAMNYA GOLPUT

MENYOAL HARAMNYA GOLPUT

Oleh: Sukamto *)

Gaung Pemilu 2009 telah menggema, atribut caleg dan parpol bertebaran di mana-mana. Bak jamur yang muncul di musim penghujan, banyak caleg muncul dengan tiba-tiba. Layaknya pahlawan kesiangan, mereka menawarkan janji-janji manis kepada rakyat. Puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah mereka habiskan. Bendera, kaos, spanduk, kalender, baliho, poster, sticker, pamflet, leaflet, iklan-iklan caleg dan parpol di media cetak dan elektronik pun mereka lakukan dengan ambisi memenangkan perhelatan akbar lima tahunan yang menjadi maskot demokrasi ini. Demokrasi memang harus dibayar mahal, sehingga sangat wajar kalau setelah mereka duduk di kursi dewan berusaha mengembalikan modalnya. Rakyat dipecundangi dan dikebiri hak-haknya, dilupakan jasa-jasanya. Habis manis sepah dibuang! Akan tetapi, rakyat Indonesia sudah mulai cerdas, para calon ’wakil rakyat’ pun semuanya mengetahui dan sering mengatakan, ”rakyat Indonesia sudah mulai cerdas, biarkan mereka menentukan pilihan sendiri”.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­

Fakta seputar Golput

Memang benar, rakyat Indonesia memang sudah mulai cerdas. Kecerdasan dan kekritisan rakyat itu ditunjukkan dengan melambungnya angka golput. Di Indonesia, yang konon katanya adalah negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia, angka golput selalu mendapatkan prestasi nomor wahid di antara kontestan Pemilu yang lain. Di Palangka Raya, dari 128.800 pemilih terdaftar, golput memenangkan pilkada dengan perolehan suara  38,59%. Kemudian, disusul pasangan Riban–Maryono (18,15%), Yurikus-Wahyudie (14,68%), Saily-Tagah (12,78%), Salundik-Sriosako (8,91%), dan Yansen-Tajudin (4,86%). Begitu juga yang terjadi di Jabar (35,7%), Jateng (44%), Sumut (43%), Jatim (39,2%), dan daerah-daerah lain, golput selalu diurutan nomor wahid. Angka yang fantastis! Parahnya dengan kondisi demikian rakyat lah yang menjadi kambing hitam; ”kesadaran rakyat untuk berdemokrasi masih rendah”.

Golput selalu mejadi nominator pemenang Pemilu. Di Indonesia yang melakukan Pilkada tiga hari sekali ini, rata-rata angka golput mencapai 40%. Ini berarti tingkat partisipasi rakyat rata-rata adalah 60%. Kondisi ini tentu saja sangat tidak mengenakan untuk Indonesia yang menjadi negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Lagi pula, dengan tingginya angka golput, kemenangan kontestan Pemilu dianggap kurang representatif. Maka, semua pihak yang memiliki kepentingan dalam pesta demokrasi ini akan menempuh banyak cara untuk merealisasikan hajat lima tahunan mereka. Termasuk dengan menenteng agama untuk melegitimasi kepentingan mereka. Walhasil, keluarlah fatwa MUI tentang haramnya golput atas gagasan salah seorang tokoh nasional terkemuka, Hidayat Nur Wahid.

 

Di Balik Fenomena Golput

Fenomena di atas harus kita cermati. Paling tidak, ada empat catatan penting terkait fenomena golput.  Pertama, masyarakat sudah apatis terhadap ‘pesta demokrasi’. Kedua, ini adalah ‘warning’ bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Ketiga, masyarakat menganggap pilkada tersebut bukanlah hal yang penting. Keempat, konsekuensi logis bagi umat Islam untuk bangkit guna mengakhiri kesengsaraannya dalam hegemoni sistem politik dan ekonomi kapitalisme ini.

Sehingga, diperlukan paradigma holistik, integral dan komprehensif dalam menyikapi fenomena golput ini, bukan malah terjebak dalam pragmatisme kepentingan yang jauh dari tujuan maslahatan. Maraknya golput tentu saja memiliki banyak alasan, sebagaimana dikemukakan di atas, sehingga elit politik seharusnya lebih menunjukkan prestasinya, bukan malah bermain-main dengan fatwa. Atau dengan kata lain, partai, parlemen, dan pemerintah lah yang harus memperbaiki kinerja, bukan malah menjadi rakyat selaku korban sebagai kambing hitam. Lagi pula, tingginya angka golput pun seharusnya membuka mata para politisi kita. Inilah ’pilihan’ mayoritas rakyat Indonesia. Sekali lagi, inilah ’pilihan’, artinya rakyat telah menggunakan ’hak’ pilihnya dengan baik dan dengan penuh kesadaran. Inilah sikap sadar rakyat Indonesia yang mencerminkan koreksi terhadap kegagalan sistem Demokrasi dan harus diperjuangkan sistem yang baru. MUI pun harus bersikap netral dan mengedepankan mashlahat umat, bukan malah menjadi alat legitimasi elit politik yang memiliki banyak motivasi dan kepentingan pragmatis. Apalagi, UU Pemilu dan hukum Syara’ pun menyatakan bahwa memilik adalah hak bukan kewajiban. Sehingga, sangat tidak tepat apabila pilihan untuk tidak memilih (golput) yang menjadi hak (mubah) ini kemudian menjadi haram.

 

Memposisikan Fatwa MUI

Dalam ijtima’ ulama yang bertempat di Padang Panjang, Sumbar, 24-26 Januari lalu, MUI mengeluarkan beberapa fatwa, salah satunya terkait haramnya golput. Lima butir fatwa terkait haramnya golput yaitu: (1) pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa; (2) memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imarah dan imarah dalam kehidupan berbangsa; (3) imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat; (4) memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat hukunya adalah wajib. (5) memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) dan tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Terhadap lima butir fatwa MUI tersebut, penulis memberikan beberapa catatan kritis. Pertama, memilih pemimpin adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ’ain) di mana bila telah ada yang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain, itu pun jika pemimpin yang dipilih benar-benar akan menjalankan Syari’at Islam. Kedua, pemimpin yang dipilih wajib memimpin semata-mata dengan syari’at Islam saja, karena kemashlahatan bersama hanya akan benar-banar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syari’at Islam. Ketiga, memilih pemimpin yang akan memimpin dengan Sekulerisme atau menolak Islam untuk mempertahankan Sekulerisme, seharusnya dinyatakan haram. Keempat, umat Islam diwajibkan (tidak hanya dianjurkan) untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas ’amar ma’ruf nahi munkar, bukan sebaliknya. Kelima, hukum memilih wakil rakyat berbeda dengan hukum memilih pemimpin. Hukum memilih wakil rakyat yang mengemban tugas ’amar ma’ruf nahi munkar adalah mubah, karena akadnya adalah wakalah (perwakilan) di mana seseorang boleh memilih boleh juga tidak. Maka bagi umat Islam yang akan memilih harus diwajibkan (tidak hanya dianjurkan) untuk memilih wakil rakyat yang mengemban tugas ’amar ma’ruf nahi munkar dan diharamkan memilih wakil rakyat yang tidak mengemban tugas ’amar ma’ruf nahi munkar.

 

Fatwakan Wajibnya Syari’ah

Beberapa butir fatwa MUI di atas yang salah satunya mewajibkan pemilihan pemimpin seharusnya tidak hanya berhenti pada (memperjuangkan kepentingan umat), tanpa menyinggung sedikitpun kewajiban menerapkan syari’at. Padahal, justru pada titik inilah yang paling esensial, di mana wujud dari perjuangan kepentingan umat hanya dengan penerapan syari’atNya. Padahal demokrasi jelas-jelas tidak bisa diharapkan lagi. Dengan demokrasi,  banyak aset-aset rakyat dijual kepada asing. Selama beberapa kali perganitan rezim, BUMN-BUMN kita dipereteli satu persatu. Pada 1991, Suharto menjual 35% saham PT Semen Gresik di pasar modal Indonesia dan Pasar Modal Amerika. Kemudian, pada 1994 hingga 1997, Suharto melempar 5 BUMN besar di pasar modal. Penguasa Orde baru melakukan privatisasi untuk pembayaran hutang luar negeri. Habibie, menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada Cemex dari Mexico, 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong, dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Pada 2002, Megawati menjual 41,94% saham Indosat milik Pemerintah kepada BUMN Singapura. Empat tahun belakangan, SBY semakin rajin mengobral aset negara. Pada 2007, Pemerintah merencanakan 15 BUMN diprivatisasi, sedangkan pada 2008 BUMN yang hendak diprivatisasi mencapai 44. Senada dengan SBY, Jusuf Kalla mengatakan bahwa hingga tahun 2009 target BUMN yang diprivatisasi mencapai 69. Sehingga, ditargetkan tahun 2015 hanya tersisa 25 BUMN.

Kalau demokrasi telah jelas-jelas bersifat destruktif, apalagi yang kita tunggu? Sekaranglah saatnya kita perjuangkan syari’at untuk menggusur demokrasi. Karena rakyat pun sudah cukup muak dengan demokrasi. Demokrasi selalu ingkar janji! Sifat abai rakyat terhadap pemilu (golput) yang tidak sedikit jumlahnya inilah yang seharusnya direspon oleh para politisi di negeri ini. Partai-partai Islam haruslah dengan tanpa ragu menyuarakan syari’at di kancah perpolitikan di negeri ini. Karena hanya dengan itulah kemuliaan manusia akan terwujud. Insya Allah, dengan penuh keyakinan yang mendalam yang didasari oleh aqidah yang terhujam, negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraan. Hanya dengan Syari’at Islam. Walahua’lam bi ash shawab …..

 

SAVE PALESTINA WITH JIHAD & KHILAFAH

SAVE PALESTINA WITH JIHAD & KHILAFAH

Oleh: Shohib ash-Shiddiqie *)

Lebih dari 2 pekan telah berlalu, Kaum Muslimin di jalur Gaza dibantai habis-habisan oleh tentara Israel la’natullah ’alaih. Tragedi barbar yang sangat memilukan ini bak kaset rekaman yang siap diputar kapan saja dan di mana saja oleh operatornya (agresor Israel), bangsa babi dan kera ini, ketika tuan mereka (AS) memerintahkannya. Kini, Jalur Gaza mendapat giliran. Lenih dari seribu orang telah gugur sebagai syuhada’, dan lebih dari tiga ribu lainnya menderita luka. Aksi demo terjadi di mana-mana, tidak hanya di negeri-negeri Muslim, tetapi juga di negeri induk Kapitalisme, AS. Mereka mengutuk kebrutalan Israel biadab yang telah bertindak secara tidak manusiawi, membombardir Jalur Gaza, membunuh nyawa-nyawa yang tak berdosa, dan menghancurkan fasilitas-fasilitas publik, hanya dengan satu alasan menyerang sarang teroris, Hamas.

AS dan negara Yahudi pun terdesak oleh opini dunia yang menggelegar seketika. Menlu AS, Condoleezza Rice pun mulai mencari kambing hitam. Hamas dituding sebagai penyebab terjadinya tragedi pembantaian ini. Sehingga, AS takut situasi ini akan memburuk, dan terkena batunya. Kemarahan Kaum Muslimin kepada para penguasa mereka pun membuncah. Tidak mustahil, kemarahan ini akan berujung pada kejatuhan mereka, dan berdirinya Khilafah. Sebab, Kaum Muslimin sudah cukup muak dengan jargon-jargon Kapitalisme seperti Demokrasi, HAM, Kebebasan, war on terorism dan jargon-jargon lainnya yang ternyata memiliki double standard. Semuanya hanyalah berlaku untuk AS dan sekutunya, tetapi tidak berlaku untuk negeri Islam dan Kaum Muslimin. Semuanya adalah alat penjajahan Barat. Agenda global yang digembor-gemborkan sebagai war on terorism tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk memerangi Islam. Kita bisa melihat bagaimana kelompok kecil seperti Hamas saja, membuat negara Zionis tersebut dengan restu AS menggempur dan meluluhlantakkan Palestina (Gaza), tanah suci Kaum Muslimin. Kalau faktanya demikian, siapakah sebenarnya yang patut mendapatkan gelar teroris? Tentu, AS dan Israel lah the riil terrorist. Mereka lah Terorisme Negara yang biadab. Sangat terlihat jelas adanya standar ganda, kita dan para syuhada’ yang gugur kelak akan menjadi saksi di hadapan Allah Swt. Ini semakin menunjukkan semakin rapuhnya ideologi Kapitalisme yang bersifat self destructive. Apalagi ditambah dengan semakin menajam dan mengkristalnya pemahaman di tengaht-tengah Kaum Muslimin akan urgen dan wajibnyan menegakkan Khilafah, institusi pemersatu Umat.

Aksi barbar Zionis Israel sangat biadab, sangat jauh dari batas-batas kemanusiaan. Ini tidak cukup hanya dikecam dan dikutuk, tetapi memerlukan aksi riil, karena setiap detik bagi warga Gaza maut selalu menanti. Tidak cukup juga hanya dibantu dengan bahan makanan, obat-obatan, atau mengirim sukarelawan dan milisi, sementara Israel sebagai biang keladi krisis Palestina dibiarkan begitu saja. Tindakan moral ini adalah baik, tetapi tidak cukup hanya membatasinya pada tindakan moral semata. Ini hanya akan mengobati rasa sakit, menghilangkan rasa lapar dan dahaga, untuk kemudian mempersiapkan mereka menerima gempuran rudal atau misil yang kesekian kalinya dari Israel. Tidak sedikit pun mengurangi ancaman ketercekaman dan kematian. Israel harus dihadapi dan dilawan dengan kekuatan yang sama. Berharap pada PBB pun bak menegakkan benang basah, karena PBB tidak lain hanya representasi kepentingan AS dan sekutunya. Bagaimana tidak? Setiap kali Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi, dengan sigap 5 negara pemegang anggota tetap PBB selalu mem”vetto”nya. Ini sangat diskriminatif dan tidak adil, kontradiktif dengan ide demokrasi yang mengadepankan suara terbanyak yang selama ini mereka usung. Akhirnya PPB menjadi mandul, dengan hak spesial (vetto) itu. Sehingga, menjadi keharusan bagi negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia untuk keluar dari PBB. Keberadaan pemimpin negeri-negeri Muslim di PBB hanya malah akan menjadi legalitas dan justifikasi atas aksi biadab Israel. Bergabung dalam PBB adalah pengkhianatan terhadap Kaum Muslimin. Begitu juga dengan OKI dan Liga Arab, eksistensinya tidak ada gunanya sama sekali bagi Dunia Islam, bak sapi ompong yang hanya ”ngowoh” melihat kezhaliman Zionis Israel.

Solusi jangka pendeknya adalah penguasa negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia harus secapatnya mengerahkan kekuatan militernya (jihad) untuk menghentikan kebiadaban Israel dan melindungi Kaum Muslimin di Palestina. Bila tidak, berarti para penguasa negeri-negeri Muslim telah mengkhianati Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin, dengan membiarkan terjadinya pembantaian terhadap warga Palestina. Karena masalah Palestina adalah masalah Kaum Muslimin di seluruh dunia. Palestina adalah kiblat pertama Kaum Muslimin. Palestina adalah tanah kharaj yang didapatkan Kaum Muslimin pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab melalui peperangan. Status tanah ini tidak akan berubah sampai Hari Kiamat, siapapun tidak berhak mengubah status ini, termasuk menggadaikannya, apalagi menyerahkan kepada musuh, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penguasa Palestina, Mesir, Yoordania, Suriah, dan lain-lain kepada bangsa kera, Yahudi. Inilah yang pernah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita yang amanah. Seperti yang ditunjukkan oleh Khalifah ’Abdul Hamid II, ketika diminta oleh Dr. Theodore Hertzl agar Khalifah menyerahkan tanah Palestina kepada Yahudi, tetapi dengan tegas Khalifah yang mulia itu pun menolak. Inilah kutipan pernyataan Beliau, ”Nasihati Dr Hertzl supaya jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepas walau hanya segenggam tanah ini (Palestina), karena itu bukan milikku. Tanah ini adalah tanah Kaum Muslimin. Kaum Muslimin telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silahkan menyimpan harta mereka…” Sungguh, kita sangat merindukan sosok pemimpin seperti Khalifah ’Abdul Hamid II. Sebagai tanah seluruh Kaum Muslimin, maka masalah yang menimpa Palestina bukan hanya masalah bagi Penduduk Palestina atau bangsa Arab, melainkan masalah bagi seluruh Kaum Muslimin. Mengalihkan masalah Palestina dari masalah Kaum Muslimin menjadi masalah bangsa Arab atau dari masalah bangsa arab menjadi masalah bangsa Palestina adalah bentuk kemunkaran dan kemaksiatan. Ini adalah pengkianatan terhadap Allah, rasulnya dan kaum Muslimin.

Sungguh, bila kita melihat Israel, tidak lain hanya negara kecil yang bila Kaum Muslimim meludah saja akan sanggup menjadi air hujan yang membasahi negeri itu. Mengalahkan Israel sebenarnya sangat mudah bila penguasa-penguasa Kaum Muslimin mau bersatu, ini juga didukung oleh kekuatan militer kaum Muslimin yang sangat mencengangkan. Jumlah personil militer aktif di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah (belum termasuk Indonesia) adalah 230,582,445. Sedangkan, militer aktif bangsa Israel hanya 3,353,936. Dengan perbandingan 68 tentara Muslim: 1 tentara Israel, dengan logika apapun, tentara Muslim sebanyak ini jika digabungkan akan mengalahkan jumlah personil angkatan bersenjata Israel. Belum lagi semangat jihad yang membara di dada Kaum Muslimin seperti pada Perang Badar, Perang Mu’thah, Perang Tabuk, Perang Khandak, dan peperangan lainnya dengan gagahnya mereka menggulung kekuatan musuh, tentunya didukung dengan strategi yang jitu pula. Negari-negari Muslim mengeluarkan 17 kali lebih banyak anggaran militernya dibandingkan dengan Israel. Jadi, jelaslah, bahwa suatu gabungan tentara Muslim akan menjadi kekuatan militer yang dominan di wilayah itu. Bahkan dengan teknologi militer mereka yang maju, Israel tidak dapat mengatasi kekuatan militer yang begitu besarnya.

Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh berjuang menegakkan Khilafah, karena hanya Khilafahlah yang mampu menyatukan 1,4 milyar Kaum Muslimin dan Umat Manusia yang lainnya di seluruh dunia dengan segenap potensi yang dimilikinya. Dengan kekuatan inilah, mereka akan memiliki kekuatan untuk melindungi diri, termasuk melawan kebiadaban seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina sekarang ini. Dengan itu pula kemuliaan manusia akan terlihat, terpelihara, dan terjaga. Khilafah akan memobilisasi tentara-tentara negeri-negeri Muslim dan seluruh Kaum Muslimin dengan jihad fi sabilillah menghancurkan Israel dan negara-negara pendukungnya seperti AS dan sekutunya. Wallahua’lam…

UU BHP, WUJUD NYATA KEZHALIMAN PENGUASA

UU BHP, WUJUD NYATA KEZHALIMAN PENGUASA

Oleh: Sukamto *)

Rabu, 17 Desember 2008, menjadi momentum bersejarah bagi dunia pendidikan di Indonesia. Draft Rancangan Undang–Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang telah mengalami revisi berkali-kali digolkan menjadi Undang–Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Para “wakil rakyat” (sekali lagi saya tuliskan “wakil rakyat”) yang terhormat dengan penuh semangat mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP. Keesokan harinya, dapat dikatakan hampir seluruh media massa nasional, baik cetak maupun elektronik pun mengekspose “prestasi gemilang” para “wakil rakyat” ini. Tengoklah lembaran Detikcom, SINDO, Suara Karya dan beberapa media massa cetak yang lain. Begitu juga di beberapa media massa elektronik lainya. Ya… sebuah “prestasi gemilang” “wakil rakyat” yang akan selalu dikenang oleh rakyat, khususnya mahasiswa.

Ironis memang, RUU BHP yang selama ini menjadi momok di kalangan mahasiswa, yang notabenenya sebagai komunitas sekaligus pranata sosial di tengah-tengah masyarakat yang secara langsung dapat merasakan dan bersinggungan dengan dampak buruk dari BHMN-isasi 7 kampus negeri yang menjadi pilot project kampus BHMN, dengan begitu mudah disyahkan, tanpa mendengarkan sedikitpun teriakan mahasiswa. Wahai wakil rakyat, di mana hati nuranimu? Pantaskah kalian menjadi wakil kami, sementara urusan kami tidak kalian perhatikan?

Sejak awal, digulirkannya RUU BHP telah banyak menuai kontroversi, kecaman darn protes dari pihak-pihak yang kontra dengan RUU ini, yang secara kuantitas tentunya sangat jauh lebih banyak dari pada pihak-pihak yang pro dengan RUU ini. Berbagai upaya penyadaran pun dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat yang peduli dengan buram dan akan bertambah buramnya potret pendidikan di negeri ini, mulai dari seminar, talk show, aksi turun ke jalan dll, hingga aksi anarkis mahasiswa. Pada H-1 pengesahan UU BHP pun masih ada mahasiswa yang melakukan aksi, misalnya di Makasar, ratusan mahasiswa UNHAS melakukan aksi menolak rencana pengasahan RUU BHP menjadi UU BHP. Begitu juga, tepat pada hari H, sekitar 20 mahasiswa UI dan ITB mendesak masuk ruang sidang paripurna. Mereka mengkhawatirkan pengesahan UU BHP akan mereduksi peran pemerintah dalam pendanaan pendidikan atau dengan kata lain pemerintah akan lepas tangan terhadap dunia pendidikan secara perlahan-lahan. Mereka juga menegaskan bahwa pengesahan RUU BHP adalah sebagai bukti yang jelas bahwa para wakil rakyat telah mengkhianati mahasiswa. Tapi, ternyata teriakan mahasiswa itu tiada artinya, Pak Muhaimin dengan tanpa ragu “mengetok palu” tanda syahnya UU BHP. Kemudian, 50 anggota dewan yang lain pun ikut meng’amin’kan. Sekali lagi patut kita pertanyakan, di manakah eksistensi para anggota dewan yang mengatakan dirinya sebagai wakil rakyat? Apakah telinga mereka sudah tidak bisa mendengarkan teriakan ribuan mahasiswa yang ada di dalam dan di luar ruangan sidang paripurna? Pantas sekiranya penulis mengajak Anda yang merasa sebagai wakil rakyat untuk merenungkan lantunan lagu Iwan Fals berikut ini. “…..Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan, jangan ragu jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam. Di kantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke……”

Padahal, sikap keberatan terhadap RUU BHP yang sudah disyahkan tidak hanya disuarakan oleh Mahasiswa. Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid melihat ada beberapa substansi dalam isi undang-undang yang harus dihilangkan, misalnya kemungkinan terjadinya komersialisasi pendidikan. Edy juga mengkhawatirkan lepas tangan pemerintah, ketika pemodal asing sudah mulai bermain.

Sangat disayangkan, apa yang menjadi tuntutan mahasiswa bak anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Aksi demo oleh kalangan mahasiswa ditanggapi datar-datar saja oleh banyak kalangan. Seperti pernyataan Dirjen Dikti, Fasli Jalal, menurutnya aksi demo mahasiswa adalah merupakan hal yang wajar di tengah euphoria demokrasi. “Saya sudah berbicara dengan 3 mahasiswa dari ITB, tampaknya mereka mengerti bahwa UU BHP perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia,” imbuhnya. Ini tentu saja sangat tidak objektif, ribuan mahasiswa yang menolak RUU BHP dan itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali saja, tetapi puluhan bahkan ratusan kali sejak pemberlakuan status BHMN terhadap 7 kampus pilot project dan sejak digulirkannya RUU BHP diabaikan begitu saja. Kemudian, pada saat yang bersamaan 3 mahasiswa yang setuju dijadikan sebagai pembenaran.

Satu hal lagi yang perlu kita kritisi bersama, bisa jadi mahasiswa yang enjoy dan tidak peduli dengan RUU BHP ini karena mereka tidak mengetahui sama sekali tentang RUU BHP, ini bisa karena tidak mau mencari tahu, atau karena tidak ada sosialisasi sama sekali. Hal yang kedua inilah, yang secara langsung dirasakan di tempat penulis menempuh studi. Ini sangat berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh anggota Komisi X dari Fraksi Partai Democrat Nurul Qomar. Ia mengatakan, “sebelum disyahkan, RUU BHP telah disosialisasikan ke perguruan tinggi, forum rektor pun mendukung, semua menerima dan kondusif. Memang, ada beberapa hal yang menjadi persoalan, tapi sudah diakomodasi,” tegasnya. Kalaupun demikian, masalahnya adalah apakah sosialisasi itu benar-benar sampai kepada mahasiswa yang nantinya akan menjadi objek langsung dari penerapan UU BHP? Atau malah sengaja disembunyikan dan ditutup-tutupi? Pantaslah sekiranya kalau hal ini masih menjadi keraguan Forum Rektor Indonersia sebagaimana dinyatakan di atas.

Menurut Aan Rohanah, Anggota panitia kerja RUU BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. “Bahkan kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100% pendanaannya oleh negara. Karena dalam RUU ini, komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan,” ujarnya. Pernyataan ini, dan beberapa pernyataan yang senada yang dilontarkan oleh para elit politik yang mengatasnamakan wakil rakyat terlihat cenderung lebih teoritis ketimbang empiris. Secara teori, kebijakan-kebijakan pemerintah akan menghasilkan institusi yang lebih berkualitas, berdaya saing tinggi dan relevan dengan perkembangan dunia. Namun, empirisnya sangat jauh dari yang ingin dicapai. Contoh nyata adalah penerapan BHMN, apalagi dengan disyahkannya UU BHP ini. DI IPB Bogor, dibangun beberapa mall di dalam kampus. Universitas Gadjah Mada (UGM) pada bulan Juli 2008 lalu berencana menerbitkan reksadana UGM Fund dengan bekerjsama dengan PT Lautandhana Investment Management (LIM). Selain itu, melambungnya biaya pendidikan di 7 kampus pilot project BHMN juga menjadi konsekuensi logis yang jelas telah terjadi di depan mata kita.

Fakta di atas menunjukkan betapa jelasnya nuansa kapitalisasi pendidikan. Sungguh suatu keanehan jika sebuah universitas negeri menerbitkan reksadana untuk menghimpun pembiayaan universitas sebagaimana yang dilakukan UGM. Universitas yang seharusnya fokus dalam kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat, serta mengontrol dan mengkritisi kebijakan negara yang menyimpang justru menjadi badan usaha yang mencari laba. Universitas yang seharusnya memberikan sumbangan pemikiran/konsep bagi perbaikan kehidupan bernegara dan bermasyarakat malah menjadi pelaku bisnis. Universitas juga seharusnya menjadi penggerak penolakan liberalisasi ekonomi, sumber daya alam, dan liberalisasi pendidikan, serta subsidi perbankan oleh negara.

Pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran. Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal tersebut. Salah satunya adalah sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum? Misalnya, pasal 19 ayat 2 dan 3, bagaimana dampak dari 2/3 pemegang kebijakan justru berasal dari luar kalangan akademisi yang memahami secara detail dan mendasar mengenai keberlangsungan proses pendidikan? Disini terlihat ketidakjelasan otonomisasi kurikulum dalam BHP.

Pada pasal 41 RUU BHP yang mengatur mengenai pendanaan institusi pendidikan berbentuk BHP, terdapat beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan tersebut, baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi (ayat 4, 6, 7, 8 dan 9). Ketidakjelasan ini berupa proporsi pemerintah dan BHPP yang belum eksplisit ditentukan serta bagaimana BHPP memenuhi sisa biaya di luar tanggung jawab pemerintah. Ketidakjelasan ini merupakan hal yang krusial karena kaitannya dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan keberlangsungan pengelolaan pendidikan itu sendiri. Di sini terlihat reduksi peran pemerintah dalam pendanaan BHP.

Selain itu, bentuk BHP memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang diantaranya disebabkan adanya pailit (pasal 57). Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan tak ubahnya dengan perusahaan pada umumnya yaitu ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar. Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka seharusnya pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara. Tapi, UU ini memposisikan pendidikan sebagai bahan taruhan, yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan ketika mengalami kepailitan.

Walau bagaimanapun juga, neo imperialisme yang menjadi metode penjajahan gaya baru ideologi Kapitalisme adalah satu-satunya biang rese atas segala permasalahan di negeri ini, termasuk bidang pendidikan. Barat melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan USAID bekerjasama melalukan program penyesuaian struktural di Indonesia salah satunya adalah menghapus subsidi dari APBN. Dengan program ini, maka pembiayaan perguruan tinggi negeri yang selama ini ditanggung negara harus dihapuskan dan perguruan tinggi harus dikelola seperti pengelolaan sebuah perusahaan komersial yang berorientasi laba. Untuk mengurangi benturan dengan masyarakat, maka diciptakan istilah-istilah yang menyesatkan seperti membangun kemandirian, transparansi dan akuntabilitas. Jadi istilah agar kampus mandiri merupakan istilah yang menyesatkan.

Kapitalisasi kampus dari segala lini ini sangat menyedihkan rakyat dan seharusnya menjadi tamparan yang sangat memalukan bagi perguruan tinggi di Indonesia. Inilah bukti negeri kaya sumber daya alam tapi miskin, penduduknya sedang mengalami penjajahan. Melalui penjajahan mindset, pola pikir rakyat Indonesia khususnya kalangan elit politik, pengusaha, dan kaum terdidik diubah pemahamannya menjadi sekuler dan kapitalis sehingga penjajah dari negara-negara Kapitalis dan penjajah yang bernama investor dapat dengan mudah menguras harta kekayaan dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Karenanya bukan kemandirian kampus yang harus dibangun tetapi mandirikan negara Indonesia dari penjajahan dan campur tangan asing. Konsep dan metode untuk membangun kemandirian Indonesia hanya dapat diperoleh di dalam Islam yakni dalam sistem Khilafah, bukan Kapitalisme. Wallahua’lam…..